Abadi

25 7 0
                                    

"Pergilah dari sini! Aku tak membutuhkanmu lagi!"

Revan memundurkan langkahnya perlahan, menghindar dari mantra yang kemungkinan akan Ratu Edelweis kembali serukan.

"Ta-tapi Ratu?"

"Sudah, cukup!" Mata wanita itu berwarna merah kini. Tatapannya tertuju pada Revan dengan tajam, membuat yang ditatap kembali melangkah mundur.

"Aku membawamu ke dimensi ini bukan untuk sekedar kembali ke bumi dan mempercayai yang namanya Tuhan! Kita ini dewa Revan! Tidak ada yang menciptakan kita!"

"Ada!" Wajah Revan terangkat, mata birunya kini menatap wanita yang telah membawanya ke dimensi Glorica dengan tak kalah tajam. "Aku diciptakan oleh Allah. Dan kau juga! Kau bisa musnah suatu hari nanti karena takdir Tuhanku!"

"Tidak akan. Karena sebentar lagi ramuan keabadian akan menjadi milikku!" Ratu Edelweis tersenyum sinis, bersamaan dengan hadirnya dua prajurit yang kini menyeret Revan ke luar Istana atas perintahnya.

Pemuda itu memberontak. Berusaha melepaskan diri dari prajurit bertubuh tegap yang kini memegang tangannya dengan kuat. Hingga sebelum kakinya benar-benar ke luar dari ruang utama Istana Glorica, ucapannya menggema. Memecah keheningan yang sempat tercipta.

"ALLAH TUHANKU! TIADA YANG ABADI SELAIN DIRINYA! LIHAT SAJA NANTI!"

***

Dalam sekejap mata, tubuh Revan sudah berpindah ke sebuah ruangan sempit dengan pencahayaan redup. Revan mengerjap, berusaha melebarkan bola mata demi bisa memindai sekitarnya yang terasa pengap dan berdebu.

Belum sempat Revan menebak keberadaannya, prajurit berkumis tebal–yang berada di sisi kiri tubuhnya–sudah lebih dulu bersuara, "Kamu akan dipenjara karena tidak patuh pada Ratu."

"Kenapa aku harus patuh kepada makhluk yang suka bertindak kejam?" balas Revan keras. Pemuda itu berusaha untuk tidak gentar walau kedua lengannya sudah merasakan sakit akibat cengkeraman yang diberikan kian menguat.

"Lancang sekali!" teriak prajurit di sisi kanan. Kemudian dengan kompak dia dan rekannya mendorong tubuh Revan dengan keras ke dinding yang terbuat dari batu kasar.

"Auh ...." Revan meringis tertahan, seluruh tulangnya terasa remuk dan beberapa bagian tubuhnya mengeluarkan darah.

"Katakan kamu akan bersujud memohon ampun dan patuh kepada Ratu!" titah prajurit berkumis tebal sambil menodongkan tombak ke wajah Revan.

Mata Revan memelotot, tubuhnya terkepal menahan emosi. "Tak akan. Sekalipun harus mati, aku tidak akan berpaling dari Sang Illahi."

"Aaah ... enyahlah, kau!" Prajurit berkumis tebal hampir mengayunkan tombaknya menembus tubuh Revan.

Revan menutup mata. Bersiap melepas nyawa dari raganya sembari merapal lirih kallam Illahi. Ia terus memejam, hingga tak sadar badannya sudah melayang. Tersedot ke dalam sebuah lingkaran cahaya yang begitu menyilaukan mata.

"Hei kau ...!" Para prajurit berseru, berusaha menggapai tubuh Revan. Namun, terlambat. Revan sudah menghilang.

***

Revan mengerjapkan matanya berkali-kali. Mencoba membangunkan kesadarannya.

"Aku dimana?" lirihnya tak berdaya.

"Kamu di sini! Buka matamu!" bentak sang ratu membuat Revan membelalak seketika.

Ia mengamati sekitar. Perutnya diikat pada tiang. Tangannya di borgol dan terikat di tiang yang lain. Tubuhnya lunglai tak berdaya.

"Mau kabur kemana kamu!? Ha!?" hardik sang ratu. "Kamu bisa lepas dari besi ini jika mau mengakuiku sebagai dewa!"

"Tidak akan!" balas Revan tanpa rasa takut. "Kamu hanyalah makhluk! Kamu tak punya kuasa jika Allah tak memberimu kekuatan!"

Liburan Berkarya 2021Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang