Terkelabui Angan

27 4 1
                                    

Remang-remang menjadi temanku, berkali-kali aku berusaha menangkis atas kejadian tadi pagi. Perkataan mu, senyum terakhir mu dan ucapan selamat tinggal yang masih membekas di pikiranku.

Aku ingat betul, di bawah rindangnya pohon Bougenville dengan embun pagi yang masih bergelung nyaman di daun dan bunganya yang berwarna orange. Saksi bisu perpisahan yang pastinya tak kuinginkan. Setelah perdebatan singkat, akhir kata terucap begitu saja dari bibir tipis mu. Bagaimana denganku? Terpaku, seakan apa yang kau katakan hanyalah angan sesat yang menakut-nakutiku.

Senyum yang merengkuh tangis, bahu nyaman yang mampu menopang kegelisahan, punggung yang selalu membawa kerinduan, tak lupa tangan yang merangkul kesepian. Kata perpisahan merebut semuanya, seolah masa sewa sudah habis atas perjanjian yang tak kuketahui kapan selesai kontraknya.

Jalan setapak yang kau pijak, di mataku bebercak reruntuhan, serpihan momen tawa kita berdua. Ketika malam itu, kau datang hanya untuk makan takoyaki bersama di teras rumah berkeramik biru. Aku melihatnya luruh perlahan tergantikan wajahmu yang memintaku untuk tak melupakan sesuatu yang pastinya kuharap kau sudah tahu.

Sialnya, lagi-lagi semesta menertawakan kisah yang sudah cukup lama ku tulis. Perkataan nya terlalu tak nyata untuk sebuah hubungan realita. Hanya sebatas mata dan telinga, kita dapat menilainya. Baiklah, aku akan berhenti sejenak untuk mengatur setiap dialognya. Tunggu saja.

Akan ku lanjutkan malam ini untukmu, terpikir olehku, sejujurnya apakah kau tahu arti di setiap kata yang kau ucapkan tadi pagi? Langkah kaki mu berhenti, mengkomando untuk yang terakhir kali. Kuingat betul, kedua sudut bibir mu terangkat tanpa ragu. Kesadaranku perlahan digoyangkan oleh semilir angin yang berbisik pelan. Suara itu, suara mu, suara yang menjadi alasan kalbu menyuruh air mata meluruh. "Jangan lupa bahagia, ya."

Terlampau sering kau menunjukkannya, tersurat maupun tersirat. Terucap bahkan lewat tatap-menatap. Seakan hal tersebut sudah dipatenkan untuk berada di wadahnya, berada di sisiku. Ternyata angan mengelabui kenyataan. Perlahan memudar, hanya menunggu gilirannya saja. Oiya, perkataan mu terkabulkan. Mungkin saja, jika hal itu bukan terjadi hari ini, aku akan tersenyum girang, mencolek bahumu dengan wajah merona malu-malu. Dengan begitu, kau akan tergugah untuk memelukku.

Takdir dengan cekatan tanpa lupa membalikkan jam pasir untuk terus mengalir. Tak mempedulikan momen yang terlewatkan, yang seharusnya terasa manis, hanya akan berbuah miris. Pikiran dan bibir akan sejalan untuk mengatakan "seandainya waktu berhenti, aku tak akan mengalami hal semenyakitkan ini."

Bahagia, satu kata yang diharapkan siapa saja. Namun, bagaimana jika itu bersumber dari dirinya yang memilih untuk berkelana? Mencari tempat persinggahan yang sampai saat ini belum juga berjumpa. Ketika telah menemukan jawabannya, bahwa ia salah memilih singgasana untuk kesekian kalinya, sebisa mungkin meninggalkan kesan yang tak membekaskan luka lara. Percayalah, diksi pamitan seindah, sedalam, setulus apapun tetap akan mengundang mata air untuk membasahi telaga kering.

Aku teringat kisah Bintang Berpulang, rasanya menyedihkan, ketika langit hanya ditemani awan hitam. Bulan mati menunggu proses reinkarnasinya. Suara hewan malam menakut-nakuti nimfa. Sunyi memeluk bumi yang malang. Begitu kosongnya lukisan malam itu. Langit bercerita kepada awan "bagaimana bisa, bintang menyuruhku bahagia, sedangkan ia memilih untuk berpulang?"

Sama seperti mu, sulit untuk melupakan bahagia, karena bahagia tercipta dari rasa mu. Apa daya jika semuanya sudah disita begitu saja? Lagi-lagi kau menebar senyuman tanpa beban seakan tak akan pernah hilang. Ketika rasa ingin memilikinya selalu ada, tak ingin menghilang, nyatanya aku melupakan waktu. Detik tak pernah lelah untuk berjalan menjadi menit, berlari menuju jam dan bersorak untuk hari esok. Percayalah semua akan tergantikan, yang kekal hanya takdir-Nya. Dan percayalah, kenangan pahit maupun indah akan berjalan beriringan, karena hidup bukan tentang sukacita saja.

Lagi-lagi kau mempersulitnya, tak memudahkan jalanku untuk melupakan bahagia. Bagaimana tidak? Aku hanya dapat tersenyum kikuk dengan pikiran berkecamuk. Ketika mendengar seorang gadis manis berbandana hijau tosca tersenyum sukacita duduk di sisiku menceritakan sosok bahagianya. Tentang kau, tentang kau yang memikatnya dengan senyum andalan mu. Ternyata secepat itu waktu menyembuhkanmu. Menjaring hati yang mencari tempat berteduh. Dengan sukarela kau menerimanya untuk bertamu. Menyuguhkan hidangan di meja agar dirinya nyaman, perlahan rasa hangat merambati hati rapuhnya dan berakhir terikat untuk bersama. Diam-diam aku mengiyakan dalam hati, mengingat bahwa aku juga pernah menjadi tamu istimewa mu.

Intinya, terima kasih telah mengingatkanku bahwa selama ini hanya rumah sewa yang ku sediakan. Rumah minimalis, perpaduan bulan dan matahari yang kini hanya langit sepi yang ku temui. Rasanya waktu cepat sekali berlalu, seperti pelangi, indahnya kita tunggu-tunggu hingga lupa waktu. Pudarnya tak kita inginkan, namun tetap terjadi demikian.

Selamat berkelana, mencari singgasana untuk menjadi yang terakhir kalinya. Untuk cerita kali ini, mungkin peranku adalah Dewi Hestia, yang dengan berlapang dada merelakan posisi tahtanya.

Sampai jumpa, kuharap akan menemukan bahagia dibalik sosok yang duduk di singgasana istanaku. Lanjutkanlah perjalanan menyenangkan mu, karena aku juga begitu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 18, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Terkelabui Angan [Cerpen]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang