River Flows in You

45 4 3
                                    

Suara sentuhan tuts piano menggema di ruangan bernuansa mewah itu. Lampu gantung yang entah berapa harganya membuat ruangannya semakin indah dan memukau. Yohan memperhatikan detail jari jemari yang masih menari di atas bilah-bilah not berwarna hitam dan putih. Mata berbulu lentiknya itu tidak lepas dari permainan instrumen yang bundanya mainkan. Sesekali tatapan mereka saling bertemu lalu mengulas senyum paling tulus diantaranya.

Yohan cilik tersenyum. "River Flows in You," ucapnya. "Yohan paling suka lagu itu bun."

Maria menatap manik anak laki-lakinya. "Kenapa Yohan suka lagu ini? Kemarin bilangnya suka yang kiss the rain." Wanita bersurai panjang itu menggeser sedikit posisi duduknya, sehingga Yohan bisa duduk di sebelahnya.

"Karena River Flows in You itu kesukaan bunda, kan?" Pertanyaannya membuat Maria mengangguk, "Mulai sekarang Yohan suka semua yang bunda suka. Bunga, jus buah mangga, warna pastel, lagu River Flows in You," Yohan terdiam sejenak, lalu menyentuh piano yang ada di depannya. "Termasuk piano."

Maria menggenggam tangan Yohan dan mengarahkannya pada tuts piano yang tadi ia sentuh. Jemari pendek milik putranya mulai menekan tuts dan mengeluarkan suara merdu nan lembut.

"Yohan juga bakal sayang, kan sama ayah?" Tanyanya membuat Yohan menghentikan permainan pianonya.
"Ayah?" Yohan mengerutkan dahi, "Tapi ayah suka mukul, emang pantes buat disayang?" pertanyaan itu keluar dari mulut anak umur sepuluh tahun.

Maria kembali mengarahkan jemari Yohan, "Siapapun berhak disayang dan menyayangi. kamu harus sayang ayah kayak kamu sayang ke bunda," Ucap Maria. "Tapi, kamu gak boleh mukul orang. Kamu gak boleh kayak ayah. Kamu harus bisa ngelindungin orang yang kamu sayang, gak boleh berantem. Tangan kamu lebih bagus buat main piano dari pada buat mukul orang."

"Kalau adek nakal Yohan boleh pukul gak, bunda?"

Maria tertawa kecil. "Kalau adek nakal, Yohan gak boleh pukul. Tapi, dikasih tau kalau adek gak boleh gitu," Jari telunjuk milik wanita itu menyentuh hidung putranya.

Keduanya tampak bahagia, sampai pada akhirnya Sang Bunda harus pergi selamanya meninggalkan mereka. Sikap ayahnya semakin hari semakin kasar dan membuat Yohan menyusutkan badan karena ketakutan.

Maria meninggal dalam keadaan kepala berlumuran darah karena berkali-kali dibenturkan ke atas piano putih kesayangannya. Not balok yang semula berwarna hitam putih kini berganti menjadi merah membuat manik Yohan bergetar.

Anak laki-laki itu melihat jelas bagaimana bundanya meringis kesakitan. Berkali-kali ia menarik kemeja ayahnya agar berhenti memukul. Tapi nihil, tubuh Yohan yang kecil terhempas begitu saja.

Hampir setiap hari minggu ia pergi sendiri, duduk, lalu menyapa Sang Bunda yang sudah tertutup dengan tanah. Membeli bunga dengan sisa uang sakunya, mengusap nisan dengan tangan yang penuh luka goresan karena ayahnya.

"Bunda suka bunga, makanya Yohan beliin bunga," Ucapnya sembari menabur bunga. "Kemarin pagi, adek dibawa sama Om Gibran ke Singapura. Yohan pengen ikut, tapi nanti Yohan gak bisa tengokin bunda lagi."

Anak laki-laki itu mendengus. "Bunda maaf ya, Yohan bisa ke sini Cuma hari minggu. Piano bunda udah Yohan bersihin, udah gak ada debu sama darah. Yohan kangen liat bunda mainin lagu River Flows in You."

"Yohan belum bisa main piano lagi, tangan Yohan sakit. Nanti kalau lukanya sembuh Yohan mau main piano lagi. Mau jadi Pianis kayak bunda," Sambungnya.

Yohan terdiam sejenak. "Kira-kira kenapa ya, tuhan ambil bunda duluan? Padahal Yohan pengen hidup lebih lama sama bunda."

"YOHAN!" Seorang pria menarik tangan penuh luka milik Yohan, anak itu terkejut dan langsung terseret diatas tanah. "IKUT AYAH KE RUMAH SAKIT, SEKARANG!"

"Ayah, tangan Yohan sakit..." Lirihnya.

" Lirihnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Perfect Harmony [KIM YOUNGHOON]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang