Naya berdecak sebal, gadis dengan rambut dicepol itu terlihat kesal. Sedangkan temannya, Alina, hanya berusaha menenangkan dirinya yang terus-terusan mengoceh tiada henti. "Ngga adil, kan, Alina? Masa adik gue boleh main piano, sedangkan gue..." Rengeknya mencari pembelaan.
"Iya, gue ngerti. Mungkin orang tua lo punya rencana lain, Nay. Lagian bagus kok kalau lo jadi dokter. Lo, kan ngga bego-bego amat." Alina mengoleskan masker di wajah mungil milik Naya.
"Tapi jadi dokter butuh effort yang ngga main-main, sedangkan gue belajar aja semaunya, nanti kalau gue salah ngasih obat gimana?"
Alina mendengus karena kesusahan mengoleskan masker di wajah Naya. "Diem," Titahnya membuat Naya diam menurut. Alina kembali mengoleskan masker yang sudah ia racik. "Makanya lo belajar yang bener! Jangan mojok mulu sama Shaka."
Perkataan Alina membuatnya membulatkan mata. "Ya ampun, Shaka!" Naya mengambil ponselnya yang tergeletak di meja rias. "Gue belum ngabarin dia, kalau gue nginep di rumah lo hari ini."
Alina hampir mengumpat, sudah hampir setengah jam masker yang ia oleskan belum juga menutupi wajah Naya yang tidak mau diam dan terus mengoceh. "Lo bisa diem ngga sih? Coba duduk, tenang, jangan kayak cacing kepanasan deh."
"Lo pake aja sendiri, gue mau mandi. Capek gue...," Sambung Alina sambil melangkah meninggalkan Naya yang duduk bersila di atas kasur.
Naya yang ditinggal sendiri itu segera mencari nomor Shaka dan melakukan panggilan. "Halo, shaka?" Panggilan Naya dibalas dehaman dari seberang sana.
"Aku ngga di rumah malem ini, orang-orang rumah nyebelin banget."
Shaka terkejut mendengar bahwa Naya tidak di rumah malam ini. "Terus kamu dimana? Jangan kabur-kaburan, Naya, udah malem. Pulang, ya?"
Naya tersenyum tipis. "Aku di rumah Alina..."
Laki-laki yang duduk di motor besarnya itu mengangguk pelan. "Pantesan," Ucapnya.
"Pantesan? Pantesan apanya?"
"Aku nungguin kamu tau, udah di depan rumah, ngga keluar-keluar. Ternyata orangnya lagi ngungsi." Shaka tertawa sembari melihat ke arah jendela kamar Naya yang tertutup rapat.
"Tuh, kan, maaf aku lupa ngga bilang sama kamu." Nada bicara Naya berubah menjadi sedih, membuat Shaka sedikit panik.
"Ngga usah minta maaf, Naya... lagian aku mau ke rumah Juan juga. Rumahnya, kan ngga jauh dari rumah kamu."
Naya merasa bersalah dengan pacarnya itu. Hubungan mereka baru saja di mulai awal kelas XII, kira-kira sudah hampir empat bulan.
"Yaudah, kamu hati-hati. Bawa motornya jangan ngebut-ngebut, kamu bawa jaket, kan? Pake helm ju---"
"Iya, aku pake jaket, pake helm juga. Pokoknya lengkap deh. Kamu besok sekolah, kan? Seragamnya mau aku bawain?" Shaka memotong ucapan Naya yang panjang lebar.
"Aku udah bawa seragam kok, tadi sempet ngambil dulu." Naya beranjak dari kasur Alina dan kini menghadap cermin yang memantulkan bayangannya.
"Yaudah, jangan begadang, ya, Naya?"
Naya mengangguk paham, dirinya memang tidak bisa begadang. Sekitar jam sepuluh atau sebelas saja ia sudah menempel dengan kasur dan sangat sulit dipisahkan. Naya menutup panggilan lebih dulu, lalu membuka room chatnya dengan Shaka.
Shaka❤
Good night! Hati-hati, pokoknya
Ngga boleh ngebut!❤
KAMU SEDANG MEMBACA
Perfect Harmony [KIM YOUNGHOON]
Fanfiction"Kamu adalah harmoni sempurna yang bukan hanya bisa terdengar, tapi juga bisa terlihat. Tapi semesta lagi-lagi memaksaku untuk mengiklaskan kepergianmu." ~Naya