Bab 14 - Namanya Reynald

10.8K 1.8K 128
                                    

Tak terasa sudah memasuki bulan ketiga aku tinggal di dunia ini. Walau semuanya terasa tidak nyata, tapi aku nyaman menjalaninya. Seolah-olah jiwaku dan jiwa Aileana sudah menyatu sempurna, bagaikan satu orang yang sama.

Aku merebahkan diri di kasur empukku. Yap, inilah kegiatanku selama beberapa minggu ini. Bermalas-malasan.

Tanganku terangkat menyentuh letak jantungku. "Berapa lama lagi denyut jantung ini bisa kurasakan ya andai aku bisa menghindari kematian 3 tahun mendatang?"

"Ck, tapi pertanyaan itu terdengar seperti aku mengidap penyakit parah saja." Aku menghela nafas dalam, sedikit frustrasi.

Entah kenapa sejak bertemu dengan Zeno, aku terus merenung mengenai masa depan novel ini. Aku memang tidak peduli dengan alurnya mau berantakan atau tidak, asal yang penting tidak ada hubungannya denganku.

Dan yang paling terpenting di antara semua itu adalah aku bisa tetap hidup aman dan damai sentosa terutama soal keuanganku. Huh... aku merasa seperti penulis yang tidak bertanggung jawab.

Namun, jujur saja, aku takut mati lagi. Aku masih ingat rasa timah panas bersarang di punggungku.

Tentu saja menyakitkan, seakan-akan kulitmu dilubangi paksa tanpa peringatan, tanpa anestesi. Belum lagi dengan Leon yang kutinggalkan sendiri di sana, sekarang dia menyandang status sebagai anak yatim piatu.

Kasihan sekali, Leon jadi harus merasakan apa yang kurasakan dulunya sebelum diadopsi.

"Maafkan aku," lirihku dengan lengan menutupi mata. Menahan bulir panas keluar dari tempatnya.

Ingatanku mengenai alur novel mulai mengabur seiring berjalannya waktu. Tapi untungnya dalam seminggu sekali aku selalu memeriksa buku catatanku untuk mengetahui peristiwa yang akan terjadi nanti, guna menghindari ajal tentunya.

Jika dipikir-pikir, alur utamanya belum di mulai karena setting waktu sekarang adalah 3 tahun di masa lalu, sebelum pertemuan keempat tokoh utama novel ini.

Bahkan saat ini Bellanca masih menyukai Theodore dan belum bertemu dengan Putra Mahkota, ya gadis jahat itu juga tidak peduli dengan Zeno. Bellanca ditakdirkan hanya mencintai tokoh utama pria saja.

Sekarang aku harus pikirkan bagaimana caranya tuk menghindari amukan dan korban pelampiasan si Bellanca. Enak saja aku jadi tumbal emosinya, aku tidak sudi mengorbankan nyawaku yang berharga ini pada manusia sedeng itu.

Aku menggeleng, mengusir bayangan kejadian tragis yang hinggap sekilas dalam benakku. "Ish... gila dong aku secara sukarela melangkahkan kaki ke bendera kematian yang sudah terlihat di depan mata. Amit-amit!"

Mengganti posisi berbaring menyamping dengan satu tangan dijadikan tumpuan, aku jadi teringat bahwa sampai saat ini aku masih belum menemukan agen real estate.

Aku harus membeli sebuah gedung untuk membuka bisnis toko roti, itu rencana nomor dua. Setelah itu, tahap berikutnya dapat dijalankan. Ini dinamakan misi bertahan hidup di dunia asing!

Namun, sayangnya, agen perumahan sangat susah ditemui! Ditambah lagi mempunyai ayah yang super posesif membuatku sakit kepala.

Bahkan jadwal keseharianku selalu diperiksa, keluar selangkah dari pintu utama pun harus ditemani 2 kesatria dan 2 pelayan.

Itu memuakkan! Aku jadi ingin membelah otak Hendrik —Sang Marquess Pierzo— dan melihat isinya terbuat dari apa.

Bagaimana aku bisa menyusun rencana lain untuk kabur, kalau begitu? Andai aku kabur dari sini tanpa pemberitahuan, pasti dalam dua hari dengan mudahnya akan terlacak juga.

Aku Menikahi Grand Duke TerkutukTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang