✧. halaman keempat

2.2K 598 120
                                    

━━━━━━━━━━━━━━━━━

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

━━━━━━━━━━━━━━━━━

𝐎𝐜𝐭𝐨𝐛𝐞𝐫 𝟐𝟎𝟎𝟓

Lengan dielus. Kening ikut berkerut. Sesekali ingin mengaduh, namun dirasa takut bila orang luar mendengar. Rasanya sakit, apalagi mengingat lebam ada di sekujur tubuh.

"Aku rindu Kei ... aku rindu Ibu ... "

Kelopak mata bergerak turun.

"Juga Ran."

Derap langkah tergesa-gesa menuju kamarnya. (Name) dengan refleks menoleh. Memperhatikan pintu kamarnya yang dibuka dengan paksa—dia lupa mengunci pintu—menampilkan sosok pelayan dengan wajah pucat pasi.

Keringat bercucuran, serta napasnya terengah. Keningnya berkerut dalam, dan dengan cemas, ia mendekat. Wajahnya terlihat panik.

Sungguh tak biasa. Seorang pelayan masuk tanpa izin ke kamar majikannya. Sangat tidak sopan.

Kening sang wanita mengerut dalam.

"Apa—"

"Nyonya!"

Pelayan tersebut memotong dengan cepat. Dan sedetik setelahnya, (Name) merasa dibanting tanpa ampun dari angkasa. Menubruk tanah dari ratusan kilo diatas permukaan laut.

Pupil abu bergetar kalut, disusul aliran pada pipi, yang mana membuat wajah basah seketika.

Berharap ini hanya mimpi.

"Baji Keisuke-san—"

(Name) yakin ini hanyakah mimpi.

•••

𝐍𝐨𝐯𝐞𝐦𝐛𝐞𝐫 𝟐𝟎𝟎𝟓

Lara tak kunjung beralih. Luka serta duka masih setia dihati. Menempel erat seolah tak ingin pergi. Bahkan jika inangnya telah mati.

Kematian Keisuke mengguncang jiwanya. Tujuan (Name) menikah dengan Seiya adalah demi keluarga. Sebab Seiya pernah jatuh cinta—dia melamar (Name), menjanjikan harta berlimpah, kelangsungan hidup keluarga yang tentunya akan membaik, serta cinta tak berujung—meski hanya kebohongan semata.

Namun pria itu gila.

Lebih gila daripada Haitani Ran.

Karena sesungguhnya, cinta hanya berujung semu.

"Kei ... kamu berbohong," bisikan kecil keluar dari bibir mungil.

Kepala dengan perlahan disembunyikan. Dibalik lengan, ditutupi oleh helaian rambut.

Setetes air terjatuh dari permata yang ingin dijaga.

Nyatanya, Ran ada di sana.

Melihat, dan menonton dalam diam.

Entah apa yang dipikirkannya. Dia merasa bersalah sebab saat kejadian, dia ada di sana. Jika saja dia lebih peka dan tahu kalau Baji Keisuke adalah adiknya, mungkin Ran akan dengan nekat menolongnya. Menambah dua geng ke dalam daftar musuh bukan masalah.

Ini adalah perasaan asing yang melingkupi ruang hatinya. Tanpa izin meremas jantungnya. Menusuk dengan ribuan jarum, memberikan rasa pilu tak terhitung.

"Aku bodoh," dirinya bergumam pelan.

Kemudian, dia berjalan. Mendekati wanita yang tengah tenggelam dalam rasa duka. Di atas ayunan, duduk seorang diri.

"Nee-san."

Kepala enggan diangkat. Mungkin dia kenal dengan suaranya. Tidak ingin bila Ran melihat wajah kacaunya.

Lelaki ini kemudian berjongkok. Menumpukan dagu pada telapak tangan kanan, dan sedikit mendongak. Menatap wanita yang mati-matian menahan isakan.

Seulas senyum terbit.

"Nee-san. Coba angkat kepalamu."

Masih tidak ada jawaban.

"... Nee-san. Aku minta maaf."

Kali ini, tampaknya sang wanita menarik napas dalam-dalam. Kepala diangkat perlahan. Wajahnya memerah, terutama pada bagian hidung serta matanya.

Terlihat sembab. Jejak air mata begitu jelas, kesedihannya begitu dalam. Mengundang iba tak tertahan.

"Aku harus bagaimana, Ran?"

Ran terdiam. Dirinya tak tahu harus menjawab bagaimana. Ia hanya terdiam, memperhatikan wanita yang didambakan.

"Kamu adalah orang yang diam dan pergi begitu saja saat adikku diambang kematian."

Bibir terbuka, lalu kembali mengatup. Lidah seolah kelu. Ran tidak dapat berkata. Apa yang diucapkan (Name) adalah fakta.

"Kamu juga orang yang membuatku menderita."

Ini sungguh tidak adil.

"Tapi bagaimana ini, Ran?"

Telapak tangannya bergerak. Menyentuh pipi Ran perlahan. Disentuh, dielus dengan penuh kasih sayang.

Membuat Ran membeku, bingung dengan situasi yang berubah tiba-tiba.

"Aku tidak bisa membencimu."

Aliran sungai tak kunjung berhenti. Masih setia mengalir, menimbulkan isakkan samar yang berusaha ia tahan.

Senyum terukir.

Pada sang wanita, maupun lelaki yang kini kembali jatuh hati.

"Maka, jadilah milikku," ujarnya. Ran tersenyum. Kali ini, ia menyentuh punggung tangan (Name). Balas dielus, menyalurkan kehangatan. "Aku tidak mau jika hanya memiliki hatimu. Aku serakah."

"Tapi aku tidak bisa, Ran."

Keduanya sudah jatuh cinta.

Namun tidak memiliki kemungkinan untuk bersama.

Sang penguasa begitu kejam. Merengut satu persatu yang dianggapnya berharga. Bahkan kini ia tidak bisa bersama dengan orang yang dicinta.

"Aku tidak bisa," kali ini, isakkan tak berhasil ditahan. Matanya dipejamkan kuat-kuat. Membiarkan tetesannya terjatuh. Kali ini, mengenai wajah Ran yang mendekat.

"Aku merasa semua ini tidak benar."

Haitani Ran tidak dapat berpikir jernih.

Otaknya tak menemukan kata-kata yang pas, sementara hatinya menjerit sakit tatkala tangis tak kunjung berhenti.

Sebuah kecupan mendarat di bibirnya. Lembut, dan tidak ada paksaan di dalamnya. Sungguh tulus. Ran hanya menempelkan bibirnya, membungkam dengan lembut.

Insan muda ini benar-benar tidak dapat berpikir jernih.

Ditatapnya (Name), yang kini membeku. Bibirnya berhenti bergetar, dan pipinya perlahan bersemu merah.

Ran tersenyum samar.

"Kamu kesepian, (Name)."

Ucapannya mengingatkan sang wanita akan adik yang sudah tiada.

"Tolong biarkan aku mengisinya."

(Name) terdiam.

"Aku ingin memiliki kamu seutuhnya."

Hatimu. Tubuhmu. Bahkan jiwamu.

Ran sungguh mendambakannya.

Dalam diam, disetiap malam, bermimpi akan sesuatu yang bukan miliknya.

•••

22 Juli 2021

𝐉𝐔𝐏𝐈𝐓𝐄𝐑! haitaniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang