1. Prolog ( Katanya )

67 5 0
                                    

Prolog.

Aku tidak tau bagaimana menuliskannya hal seperti itu, yang aku inginkan adalah mengungkapkan sesuatu yang tak bisa langsung dengan berbicara. Tapi aku juga tak pandai merangkai kata, orang-orang yang mengenalku sekarang hanya tau bagaimana aku bisa se-fasih ini berbicara dengan mereka.

Ah, bukan begitu, aku tidak seperti yang mereka pikirkan dan ungkapkan. Aku hanya seorang gadis berumur 22 tahun yang bahkan masih bingung ingin seperti apa nanti. Bapak dan ibu sesekali menghubungi aku, bagaimana kabar dan juga pendidikan anaknya yang sudah merantau lebih dari 4 tahun di kota orang.

Sebelum menjawab, aku biasa menunduk, menghela nafas berat, lalu melihat ke arah langit-langit kamar yang kurang lebih sudah ku tatap selamat hampir 2 tahun.

Tiap aku akan ku sampaikan keluh kesah rasanya sulit, aku tak ingin mengkhawatirkan mereka tentang apa yang aku lewati setiap harinya disini.

Letih ibu. Aku ingin pulang, mendekap pada tubuhmu yang begitu sangat aku rindukan. Bapak selalu mengingatkan untuk menjadi kuat dan bertanggung jawab, tapi aku sudah sangat lelah dengan sekitar.

Hari ini aku di tolak kembali dalam melamar kerja, baru seminggu yang lalu aku keluar dari tempat kerja lama yang aku anggap neraka. Segera mungkin tangan jeliku mencari beberapa lowongan kerja di kanal medsos. Beberapa hari lalu aku kirim dan tak lama, dua hari kemudian aku mendapat telfon untuk wawancara.

Semuanya lancar, sampai pada hari ini. Aku menanyakan pada salah satu kenalanku kabar tentang siapa yang mendapat pekerjaan itu. Ternyata aku tak lulus, menunduk lesu karena rezeki kali ini bukan untukku.

Langsung ku katakan bahwa aku baik-baik saja. Aku akan tanya ke tempat yang lain tentang pekerjaan, mungkin masih ada.

Beberapa teman mendukungku dengan semangatnya, teks teks penuh dengan emoji otot dan senyum menghampiri layar handphone ku. Ah, aku benar-benar lelah.

Dalam gelap kali ini aku mengingat sebuah momen, jika tak salah terka. Sekitar umur 5 tahun, aku masih bocah ingusan dengan banyak mimpi saat itu. Momen dimana dengan lagaknya aku menaiki sepeda tanpa roda pembantu hingga naas terjadi, hal yang tak pernah lepas dari momen yang ku tangkap.

Aku terjatuh dalam selokan, kepala terlebih dahulu masuk kesana. Tempatnya tepat di rumah kakak dari ibu, seorang paru baya yang ku panggil wawak lantas membantu ku sembari menahan tawanya. Kakak sepupuku memanggil ibu yang sedang duduk di bale depan rumah sambil mengobrol.

Karena tak tahan, aku menangis. Bukan karena bau comberan atau luka lecet pada lutut kaki kiri yang ku dapat. Tapi karena tawa tetangga sekitar yang melihatku seperti manusia lumpur. Aku malu bukan main, berharap hal itu hanya mimpi dan aku terbangun, kenyataannya tidak.

Ibu datang dengan raut wajah marah namun sekilas kemudian tertawa, putri kecil cerobohnya ini terkadang sangat bodoh dan pongah pikirnya.

Segera dengan sedikit kasar menarik ku pulang kerumah tak jauh dari rumah dari sana. Mereka semua masih tertawa, beberapa orang yang melihat lewat seperti manusia lumpur tertawa kekeh bukan main.

" Oalah yu yu.... Kok bisa jatuh lah "

Begitulah beberapa kalimat yang aku dengar di sela tertunduk senggugukan.
Sampai rumah kakak ku menambah dengan hinaan dan perkataan yang membuat tangisku kian parah.

Aku tak menyesal.

Memiliki kenangan seperti itu, aku sama sekali tak menyesal. Karena aku ingin kembali menjadi bocah yang sama, yang kesulitan membaca dan berdiri di depan umum.

Tapi tak berpikir, betapa lelah menjadi dewasa kini. Aku ingin kembali menjadi bocah yang setiap pagi buta mengambil gulungan karung untuk ibuku bekerja. Memakan telur rebus untuk sarapan pergi sekolah, membawa uang saku yang hanya cukup untuk satu kali istirahat.

Aku ingin kembali. Melihat cahaya di ujung senja bersama teman-teman saat berlari menuju masjid dengan tingkah seperti super Hero sedang melayang, kami berlarian di tanah lapang.

Lalu kembali lewat arah yang sama tapi dengan lari lebih kencang karena takut akan demit malam kala itu. Menuju ke tempat guru mengaji yang tak lain adalah sepupu jauh keluarga.

Setelah itu pulang dan makan malam sambil menonton tv. Melihat acara kesukaan, setelahnya mengerjakan pr dan mempersiapkan keperluan untuk besok sekolah.

Namun suka sekali mati lampu, dan tak lama kilat menyambar pelan. Menandakan akan turun hujan, lekas setelah itu aku dan kakakku berlari ke kamar, menarik selimut dan menempatkan bantal, tak lupa berdoa, lalu tertidur begitu cepat. Namun kadang terbangun di tengah malam.

Biasa netra remangku menelisik, Menatap sekitar dan ternyata masih gelap. Aku yang takut kembali memejamkan mata, berdoa semoga terbangun selanjutnya pagi sudah tiba.

Saat menulis ini, bibirku tersenyum dalam sepi. Menatap beberapa tulisanku yang terkadang salah huruf, padahal aku seorang mahasiswa tingkat akhir.

Aku ingin kembali.

ArunikaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang