Part 1

78 5 8
                                    

15 April 2081.

"Hadeeeh, Read-It jaman sekarang! Masa isinya hoax doang," sungutku, sambil menggeser layar Read-It yang menayangkan berita hari ini. "Emang ada gitu yang percaya berita arkeologi kek gini? Penemuan smartphone dari tahun 1970-an." sambungku.

"Mana? Coba liat!" Stevia--saudari kembarku--justru tampak tertarik. Dia mulai menggeser halaman demi halaman.

"Halaman lima," ujarku malas, tanpa berhenti menyesap air putih dari botol minumku dengan sedotan stainless steel.

Dia menggeser layar ke halaman yang kusebutkan. "Wow! Ini persis HP kamu." Stevia menunjuk gambar smartphone yang baru released Februari lalu. Bentuknya setipis cermin, dan memang jika tidak sedang digunakan akan terlihat seperti cermin. "Yang lipet tiga juga, lho, ini. Persis banget kek punyamu." Dia terkejut dengan agak berlebihan, menurutku. "Wiiih! Penemuannya di deket sini. Dari tahun 1976 ...."

"Yaelah, itu palingan artikel titipan. Iklan doang!" semburku. "Jaman sekarang, apa sih yang nggak dilakuin produsen HP?"

Kembaranku itu justru terlihat cemberut. Dia tak setuju. "Masa, sih, penemuan arkeologi begini buat mainan?" tanyanya, seolah pada diri sendiri.

"Eh, kalo itu beneran HP aku, harusnya Read-It kamu juga masuk berita, tauk."

Stevia tak menanggapi. Dia justru sibuk menyeruput jus semangka dari tumbler-nya.

"Udah, ah, yuk! Ntar keburu Magrib, lho." Kuajak dia agar segera beranjak dari bangku di luar stadion tempat kami berlatih basket tiap Jumat sore.

Kami harus pulang jalan kaki sepanjang lima blok dari stadion menuju rumah. Pernah kami ketahuan menggunakan WalkMe untuk ke stadion, lalu Mama marah besar. Katanya, "Bocah jaman sekarang, cuma suruh jalan seminggu sekali aja malesnya minta ampun. Jarak cuma deket, segala pake WalkMe. Jaman Mama kecil dulu, orang tu sekolah ke sekolahan. Kalian udah sekolah di rumah, cuma suruh jalan dikit doang nggak mau! Dari mana mau sehat kalo kayak gini?!"

Sejak terkena semburan Mama, kami tak pernah mengulang kebiasaan--yang kata Mama--buruk itu. Kami jalan kaki pulang-pergi.

Untuk menuju rumah, ada dua jalan yang bisa kami lewati. Jalan yang lurus lalu belok kanan, atau jalan belok kanan lalu lurus. Hari ini, kami memilih opsi kedua.

Matahari hampir terbenam, jalanan sudah sangat sunyi. Sejak tadi, kami hanya berpapasan dengan satu kendaraan saja. Rumah di kanan-kiri jalan  pun sepi.

Tiba-tiba, Stevia menahan langkahku. Tangan kirinya dengan gemetar mencengkeram lengan kananku. "Liat itu, Stel!" Matanya menatap nyalang ke arah seorang pria yang berdiri tepat di depan sebuah rumah di kiri jalan. "Itu orang gila, Stel. Suka ngejar, lho, katanya. Takut ...."

Lelaki berpakain lusuh dengan kulit kotor yang berdiri sekitar lima meter dari kami itu memang sedang menatap tanpa berkedip. Seringainya cukup mengerikan. Tangan kiri memegang besi pagar tempatnya bersandar, sementara tangan kanannya bersiaga di samping tubuh, memegang sebuah tongkat, semacam pemukul softball.

"Tenang, Vi! Nggak apa-apa. Kita jalan biasa aja." Kutarik tangan Stevia dengan yakin.

"Kalo ngejar gimana?" Stevia masih ragu.

"Nggak! Harus tenang kamunya," paksaku, seolah yakin. Padahal, deg-degan juga.

Beberapa langkah lagi, kami akan melewatinya. Dalam hati, aku tak berhenti berdoa, semoga dengan tidak bersitatap dengannya, dia membiarkan kami lolos.

Kurasakan cengkeraman tangan Stevia di lengan kananku menegang. Kuku-kukunya bahkan menancap di permukaan kulitku.

Tiga langkah lagi ....

Dua langkah lagi ....

Oh, tidak! Pria lusuh itu melepaskan pegangannya dari pagar besi, menatap lurus pada kami, menyeringai lebih lebar, lalu menyerukan sesuatu berkali-kali, entah apa, sambil berlari menyerbu kami.

Aku dan Stevia langsung lari tunggang-langgang. Beruntung, sepatu basket seri Air Boost terbaru kami sangat ringan. Orang gila itu tertinggal agak jauh di belakang. Sementara, kami masih berlari dengan sisa-sisa napas, dengan rongga dada yang mulai terasa panas.

"Stel! Masuk situ!" Terengah-engah, Stevia menunjuk sebuah bangunan persegi dengan dinding batu bata tua yang penuh lumut, terletak di kanan jalan.

Entah dengan kekuatan apa, tapi nyatanya pintu kayu besar di dinding depan bangunan persegi itu baru saja kudorong hingga terbuka meski tak lebar. Kami buru-buru masuk, lalu menutup pintu itu kembali, dengan bunyi berdebam yang cukup mengagetkan.

"Duh, gelap banget, Stel." Stevia berkata nyaring, meski suaranya bergetar.

"Sssttt! Jangan berisik! Ntar dia denger," bisikku, membalasnya.

Terdengar langkah kaki mendekat, beserta bunyi tongkat dipukul-pukulkan ke tanah.

Semakin mendekat ....

Semakin dekat lagi ....

Lalu terdengar bunyi yang teramat dekat. Seperti tongkat yang dipukulkan ke dinding tempat persembunyian kami.
Dag!
Dag!
Dag!

Aku dan Stevia berpelukan erat. Aku merasakan kembaranku itu menahan isakan sekuat tenaga. Kami sama-sama berusaha meredam apa pun, bahkan menahan napas sekuatnya agar tak terdengar suara sama sekali.

Beberapa detik kemudian, terdengar langkah kaki menjauh. Diikuti irama pukulan berkali-kali, mungkin orang gila itu berjalan sambil memukuli tanah.

Lalu, selama beberapa saat, hanya terdengar helaan napas kami yang bersahutan, dari mulai tegang hingga sedikit tenang.

Mata mulai terbiasa melihat dalam gelap. Aku mengedarkan pandang.

"Appp!" Stevia menutup mulut dengan kedua tangan, setelah mengeluarkan suara terkejut yang mirip cicit tikus. Rupanya, dia melihat apa yang kulihat. Dalam gelap, ekspresinya tak dapat kutangkap dengan jelas.

Di belakang kami berdiri, terdapat sekitar delapan kuburan tua. Entahlah, aku tak terlalu yakin dengan jumlahnya. Semuanya berlumut. Dua yang di ujung sana sudah tidak berbentuk seperti kuburan.

Segera kunyalakan penerangan yang berasal dari smartwatch di tangan kiri. Beberapa tulisan di nisan batu masih tampak.

Aku berjongkok untuk menyibak tanah dan lumut yang menutup nisan terdekat. Hanya terbaca nama Dyah Ayu. Tulisan di bawahnya sudah pudar.

"Stel ...." Kembaranku yang penakut itu mulai merengek. Aku tahu, dia pasti tak ingin aku melakukan ini. Tapi aku telanjur penasaran.

"Bentar, Vi." Kulanjutkan ke nisan kedua. Terbaca nama Kartini. Lahir November 1976. Wow! Tua banget. Sayang sekali, tanggal wafatnya tak terbaca.

Aku beranjak ke nisan ketiga. Hanya terbaca nama, seperti yang pertama. Cukup bergidik saat aku membaca tulisan yang tertera: Stevia.
**
TBC

FALL FOR VLADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang