Aku justru tersenyum. "Rumah ini memang perfect, sih, kalo buat setting tahun tujuh puluhan." Aku sengaja memandang berkeliling.
Vlad menegakkan badan dan kepalanya, memandangku dengan serius. Dia menghela napas panjang. "Menurutmu, seharusnya ini tahun berapa?" Sedikit menelengkan kepala, pria itu menyipitkan mata, seolah sedang menanti sebuah pengakuan dosa.
"2081," jawabku, menantang matanya.
Stevia memegang tanganku lagi. Jemarinya dingin dan gemetar. Aku menoleh padanya. Dari mimik mukanya, aku tahu dia sedikit ketakutan.
"Kita ke kantor polisi aja, Stel ...." Sepertinya, Stevia tak dapat menahan kecemasan. "Ini aneh!"
"Aneh apa?" Vlad berbicara dengan nada menuntut. "Kalian yang aneh!"
"Buat apa kamu bilang tahun ini tahun 1975?" Aku ikut emosi. Kami tersesat dan masih harus terlibat dalam sebuah sandiwara? Atau apa?
"Karena memang kenyataannya begitu!" Vlad membentak.
Aku menarik tangan Stevia agar bangkit. "Ayo pergi! Kita jalan ke kantor polisi."
"Vlad ...." Tiba-tiba, sebuah suara yang teramat lemah terdengar dari lorong.
Kami bertiga menengok ke arah datangnya suara. Bunyi berdecit roda-roda yang menggelinding terdengar mendekat, membuat bulu kuduk merinding. Tepat sekali disandingkan dengan suasana temaram rumah ini. Aku mengusap tengkuk, untuk suatu hal yang tak kuketahui.
Sebuah kursi roda model lama terlihat muncul di ujung lorong, didorong oleh seorang wanita yang mengenakan dress vintage bermotif bunga-bunga kecil, berjalan menuju kami.
Seorang wanita mengenakan baju tidur putih panjang sederhana, duduk di kursi roda itu. Beberapa helai rambut panjangnya yang keperakan terurai di antara bahu kurusnya yang gemetar.
"Ada apa?" tanyanya dengan suara samar, tepat saat kursi roda berhenti di sebelah kursi yang diduduki oleh Vlad.
"Maaf, Bu. Ibu jadi bangun ...." Vlad bangkit lalu memegang tangan wanita yang dia sebut ibu, menceritakan beberapa hal tentang aku dan Stevia.
Ada rasa dingin yang menjalari kepala saat aku melihat tangan yang digenggam oleh Vlad. Jemari wanita itu kurus dan panjang, kulitnya berkerut dan sepucat mayat. Lalu aku tak dapat menahan diri untuk tidak memandang bagian tubuhnya yang lain. Kedua punggung kakinya terlihat gemetar di dalam slipper abu-abu yang sepertinya tak berhasil memberi kehangatan.
Pandanganku naik ke lehernya yang juga tak mampu menyembunyikan usia. Keriput di wajah dan lehernya terlihat nyata. Bercak-bercak kecoklatan akibat terbakar matahari tampak di pipi.
Wanita tua itu memandangku lekat dengan sorot mata redup, membuatku kesulitan menelan ludah.
"Ini sudah malam, Nak. Apa pun itu, bisa diurus besok. Ada kamar di ujung lorong. Istirahatlah ...." Suara wanita itu lebih mirip desisan.
"Mohon maaf kami sudah mengganggu, Bu. Tapi sepertinya kami harus ke kantor polisi sekarang." Stevia kali ini yang bicara.
Wanita itu tidak merubah ekspresi datarnya. Dia memalingkan wajah ke arah Vlad. "Kamu antar mereka, Vlad!"
Vlad hanya mengangguk.
Sesaat kemudian, kami berpamitan lalu bergegas menuju sebuah mobil tua yang terparkir di carport. Dalam penerangan seadanya, mobil itu terlihat kuno tapi juga baru dalam waktu bersamaan. Tahu maksudku? Catnya masih mulus, chrome di bagian depannya berkilauan. Ini seperti bibit eggcar, tapi dengan empat pintu dan empat roda.
Sempat kususuri badan mobil itu dengan tangan. Benar-benar masih halus. "Keren, Vlad. Kuno dan berkelas. Bener-bener kayak baru." Aku memang setakjub itu.