Part 3

7 2 0
                                    

"Silakan kalo gitu. Aku tinggal dulu." Dengan isyarat tangan, pria itu menunjuk rumah Gunawan, lalu melangkah menuju rumahnya sendiri.

"Tunggu!" cegahku, ragu.

Pria itu menghentikan langkah, lalu berbalik. "Apa lagi?"

"Maaf, mungkin ini nggak sopan. Kita baru ketemu, tapi ...." Aku berhenti dan melirik Stevia. "Boleh nggak, aku pinjem HP kamu bentar? HP kami habis batre. Kami ... tersesat. Rumah Gunawan bukan yang kami tuju."

Pria itu mengerutkan kening, memandang curiga.

"Bukan saudaranya Gunawan?" tanyanya sambil menyipitkan mata.

Aku menggeleng lemah. "Look! Awalnya kami pikir di sini letak rumah kami. Mungkin tadi kami salah ambil jalan setelah keluar dari stadion depan."

Samar kulihat kerutan di kening pria itu semakin rapat. Dia menarik mundur lehernya. Mungkin dia mengambil frame lebih lebar, berusaha menilai aku dan Stevia.

Aku tak peduli. Aku sudah lelah.

"Mau pinjem apa tadi?" Setelah beberapa lama, dia bersuara.

"HP." Aku membalasnya, semringah.

"Apa itu?"

"HP. Handphone."

"Handphone?"

"Telepon."

"Telepon?"

Ya Tuhan! I can't stand this!

"Ck! Kalo nggak mau minjemin nggak apa-apa!" Kucengkeram pergelangan tangan Stevia. "Ayo, Vi! Kita ke stadion! Mungkin tadi kita salah masuk gang."

Dengan gusar, kami berjalan cepat meninggalkan pria itu. Sudah kuputuskan untuk kembali ke stadion, lalu kami pasti akan menemukan jalan yang benar untuk pulang.

"Stadion masih sekitar dua puluh kilometer dari sini." Pria itu berkata dengan tenang, tapi cukup untuk membuat aku dan kembaranku menghentikan langkah dan berbalik menghadapnya.

"Dua puluh kilo?" Aku tertawa kecil.

Dia hanya mengangguk.

"Sebelum Magrib tadi kami baru dari sana, dan tempat itu ada di ujung jalan. Lima blok dari sini. Stadion nggak mungkin pindah dalam beberapa jam!" Aku mulai meninggikan suara. Lelah jiwa raga dengan semua omong kosong ini.

Aku dan pria itu saling menatap tajam. Apa tujuannya mengatakan hal-hal aneh ini?

"Tiga blok dari sini, udah nggak ada rumah lagi. Cuma ada kebun sampai jalan raya. Di ujung jalan sana ada lapangan kecil, bukan stadion. Di kota ini, stadion cuma satu dan jauh. Kalian nggak mungkin jalan kaki dari sana sebelum Magrib trus sekarang udah nyampe sini." Dia menjelaskan panjang lebar.

"Oke, terserah. Di mana kantor polisi?" Sudahlah, aku menyerah.

"Dari ujung jalan ambil kanan, sekitar lima kilometer." Dia menjawab praktis.

Dan ini gila! Di ujung jalan--sumpah demi apa pun--ada kantor polisi bersebelahan dengan stadion.

Rupanya aku dan Stevia terdiam cukup lama, hingga akhirnya pria itu bersuara lagi. Kali ini dengan nada rendah, dan ekspresi kasihan. "Kalian bisa duduk dulu kalo mau." Dia menunjuk ke arah rumahnya.

Lelah, aku dan Stevia menuruti sarannya. Kami berjalan dengan pikiran berkecamuk, di belakang punggung pria tinggi besar itu.

Dia membuka pintu rumahnya, membiarkan kami masuk. "Duduk dulu! Kalian butuh minum." Dia tersenyum samar.

FALL FOR VLADTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang