Chapt 2

11 7 0
                                    

Mungkin jika di lihat dari pukul berapa sekarang, ini masih pagi. Tapi saat merasakan bagaimana cara kerja matahari yang begitu semangat pagi ini, siapa yang percaya kalau jam di tangan Arsen baru menunjukkan pukul 07.30

Lelaki itu menghela nafasnya sebelum menegak habis sisa air mineral, lalu mengandeng tangan Shiren, bermaksud mengajak temannya pulang. Tapi lagi lagi tangan Arsen di tepis, dan gadis itu kian meninggikan suara tangisnya

"Gue gak bisa di giniin sen, enggak bisaaa"

Arsen yang memang sudah lelah hanya diam, tidak menepuk pundaknya yang beberapa kali merosot juga tidak merangkulnya seperti tadi, masa bodoh dengan tatapan pengunjung lain yang mengarah pada mereka, pada intinya Shiren menangis karna ulahnya sendiri.

Dan ini bukan pertama kalinya gadis itu menangis cuma perkara rambutnya yang dipotong saat dia dalam kondisi tidak sadar oleh sang ayah, juga bukan tanpa alasan, Ayahnya memotong rambut shiren lantaran anak itu ndableg,

"Lo mau berapa jam lagi nangis? Sejam masih kurang"

Shiren yang masih sesenggukan enggan menjawab, sepertinya tidak akan ada aktivitas lain yang akan dia jalankan hari ini kecuali menangis.

Shiren ingat betul perjuangannya untuk bisa mewarnai rambut, Meski sesepele itu di mata orang, tapi juga berproses. Ia terus menyisihkan uangnya setiap hari, seribu demi seribu sampai dia bisa tersenyum lebar sebab uangnya untuk pergi ke salon terkumpul. Tapi lihat, baru satu hari gadis tersebut mendapatkan apa yang dia mau, dan sekarang dia malah dibuat histeris seperti ini oleh ayahnya sendiri.

Ia hisap ingusnya dalam dalam, sedang tangannya terulur untuk memeluk Arsen.

"Lagi pula, lo pake cat rambut begitu ada gunanya? Enggak kan"

Seketika tangan yang tadi memeluk Arsen terlepas, gadis itu mengusap sisa air mata yang masih terlihat basah sebelum memberikan tatapan datarnya pada Arsen

"Sen, kita itu harus mengikuti perkembangan zaman. Dulu orang pake cat rambut mungkin masih langka, tapi sekarang? Malah jarang yang warna rambutnya alami, Bocil aja rambutnya uda jarang yang warna item, lo sihh, jadi anak enggak ada gaul gaulnya, jadinya begini nihh"

"Lo pikir semua perkembangan zaman ini harus di ikutin gitu? ENGAK REN! ENGGAK SEMUA KUDU LO IKUTIN BIAR LO DI CAP GAUL"

Remaja tujuh belas tahun tersebut mengurut pangkal hidung, tidak tau lagi bagaimana cara berpikir Shiren. Menurut Arsen bukan dia yang kurang update tapi temannya saja yang kelewat polos. Sok tau dan kadang malah salah tafsir dengan hal baru yang dia lihat, juga kalimat yang dia dengar tanpa mau mencari tau apa memang sudah benar, ataukah dia masih belum bisa memahami yang sebenarnya itu bagaimana.

"Kalau emang berdampak positif, ya fine aja lo ikutin, tapi kalau sebaliknya?"

"Sekarang gini deh, seumpama lagi trennya nyolong duit orang, lo mau lakuin juga biar kesannya gaul dan mengikuti perkembangan zaman?"

"Ya- ya engak gitu juga" Ganti shiren yang menggaruk belakang telinganya, bodohnya Shiren, mengapa dia tidak bisa belajar dari pengalaman sebelumnya. Padahal di Mading kamarnya, gadis itu sudah menulis kalimat semacam ini "kalau ada masalah, please jangan temuin Arsen, itu bukan ide yang bagus!"

Dan inilah akhirnya, dia malah menangis meraung raung di samping Arsen, menceritakan kronologi tadi padahal dia tidak siap mendengar ceramah Arsen yang bukan hanya panjang, tapi juga lebar.

"Sen, uda" Shiren menyerah. Saat ini tidak ada yang bisa dia pilih antara bersama Arsen atau pulang ke rumah, rasanya ingin pergi saja kepulau yang tidak ada penghuninya.

"Lo mau bilang seribu kali pun ke gue kalau Abi enggak salah, di mata gue itu tetep salah"

"Ren, umur lo berapa sekarang?"

"17"

Arsen mengangguki pelan, "Lo tau kan, Lo bukan anak kecil lagi, coba lo berpikir dewasa, gimana bisa asap tiba tiba muncul kalau sebelumnya enggak ada api,  sama halnya Abi lo, beliau enggak mungkin marah tanpa ada alasannya, dan bukannya lo uda tau kenapa Abi lo bisa semarah itu?"

Arsen benar, Asap tidak mungkin ada kalau sebelumnya tidak ada api. Dan Abinya adalah Figur ayah yang baik, tidak, lebih dari itu. Bagi shiren Abinya bukan hanya seorang ayah, dia juga berusaha untuk menjadi figur ibu dikeluarga kecilnya.
Abi adalah alasan satu satunya shiren mengapa ia tidak membenci takdir.
Dan Abi bukan orang yang mudah marah, kalau hanya masalah sepele, beliau akan menasehati shiren dengan cara baik baik, bahkan sesekali Abi akan mengusap putri bungsunya itu.

Shiren jadi menyesal, harusnya saat tadi pagi Abi marah, dia diam, bukannya ikut balas marah dan mengomel lebih panjang dari yang keluar dari mulut Abi.

Gadis yang sudah terlentang di atas rerumputan tersebut saat ini hanya bisa menghela nafasnya, memilih memandangi awan awan yang bergerak alih alih mendengar Arsen berbicara.

Andai saja awan awan yang di pandangnya tersebut bisa bergerak membentuk rupa seseorang, Shiren ingin mengajukan permintaan pada Tuhan, dia meminta Tuhan menggerakkan awan awan indah itu hingga membentuk rupa ibunya. Meski shiren jarang sekali menangis dan mengaku merindukan ibunya, tapi dalam ruang lain dalam hati Shiren, dia lebih dari sekedar rindu.

"Lo tau gak, akhir akhir ini gue selalu mikir, kenapa bukan gue yang jadi anak pertama? Kenapa harus mas Alif dulu yang lahir, bukannya gue"

"Lo pikir enak jadi anak pertama"

Gadis itu nampak tersenyum, mungkin anak pertama mempunyai beban yang berat, tapi disini bukan perkara beban, sebab semua orang pasti punya bebannya masing masing.

"Gue pikir lebih baik jadi anak pertama, ketimbang gue jadi anak kedua tapi sekalipun gue enggak pernah ketemu sama ibu gue"

"Lo tau gak, kenapa gue benci ulang tahun, gue selalu nangis setiap ngucapin selamat ulang tahun ke beberapa orang dan saat mendengar ucapan itu dari orang lain untuk gue?"

"Karna hari itu, bertepatan dengan hari meninggalnya ibu lo"

Arsen tidak tau mengapa rasa sesak tiba tiba menyerangnya, dan jelas ini bukan apa apa ketimbang yang shiren rasakan.

"Hati gue sakit Sen"
"Meski gue uda nerima semua ini, tapi gue enggak bakalan bisa bahagia di hari itu, biar bagaimanapun gue kehilangan beliau"

Tidak pantas rasanya tersenyum di depan orang yang menangis. Tapi senyum yang Arsen tampilkan bukan untuk mengejek Shiren, Arsen hanya ingin menenangkan gadis itu. Lantas tanpa memberi tau, ia menarik shiren perlahan, menjadikannya duduk dan langsung dia dekap

Dan percayalah, dalam pelukan tersebut keduanya seolah sama sama menyalurkan rasa sakit.

Shiren yang sakit atas kepergian ibunya, sementara Arsen yang sakit atas perlakuan orang tuanya, ibunya masih ada, ayahnya juga masih ada, tapi bertahun tahun berada di tengah tengah mereka, Arsen justru merasa asing.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 20, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

We Need Each OtherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang