“Ayah.. ayah.. lihat, Haneul dapat kepiting lagi!” Namjoon mengalihkan pandangannya yang sedikit terhalang, surainya memang sudah mulai kepanjangan tapi Namjoon masih tetap enggan memotongnya padahal Seulmi sudah berulang kali menyuruhnya pergi ke salon.“Wah hebat... siapa namamu?” Namjoon membungkuk kemudian meletakkan lututnya pelan demi menyamakan kepalanya dengan bocah kecil yang kini menyodorkan kepiting di tangannya yang mungil dengan bersemangat, dari sudut matanya Namjoon menangkap pandangan yang lebih membara dari para tante yang tak berhenti juga memandangnya sejak tadi, jenis pandangan yang – ya ampun dia hot papa ternyata.
“Kim Haneul!” Namjoon tertawa gemas lantas mencubit pipi hasil warisan Seulmi itu, mendengar marga Kim dalam dua penggalan nama putrinya menjadi jabatan terhebat yang dimiliki Namjoon sampai detik ini.
Jabatan seorang ayah tulen..
“Kim Haneul anak siapa?” Namjoon memangku putrinya, mengelusnya pelan dan sesuatu mengusik pembauannya, putrinya bau matahari. Persis seperti bau Seulmi bertahun-tahun silam, ada beberapa hal yang tidak bisa diubah oleh waktu dan Namjoon merasa deja vu.
“Kim Namjoon dan Kim Seulmi!” dengan riang dan bangga gadis kecil itu menyebutkan silsilahnya, sebuah kecupan kecil melayang di keningnya sebagai hadiah kepintaran level bocah usia lima tahun.
“Haneul membuyarkan lamunanmu rupanya sayang!” Mendengar resonansi yang tak asing di rungunya Namjoon menoleh lantas menggeleng kecil malu-malu karena lagi-lagi ia ketahuan tengah memulang waktu di tempat kenangan masa kecil mereka ini.
“Berapa usiamu? Sampai kapan pantai membuatmu melankolis begitu?” Seulmi mengelus punggung Namjoon, telapak tangan itu tetaplah terasa hangat.
“Aku kembali ke sini untuk mengantarkan Haneul padamu, bukan untuk membuatmu kembali bersedih sayang!” Seulmi membelai pipi Namjoon dengan punggung tangannya, pria itu tampak stress dan kulit wajahnya menjadi kering.
“Kau tahu aku bukan hanya bersedih Seulmi, aku menyesal... menyesal karena aku begitu menyakitimu, kehadiranmu dan Haneul di sini semakin menyadarkanku kalau aku begitu merindukan keluarga kecil kita!” Namjoon melirik sebentar pada Haneul yang kini sibuk memutar-mutar kepitingnya yang mulai berbusa kurang oksigen, mungkin sebentar lagi Namjoon akan melepaskan kepiting malang itu dari cengkeraman putri semata wayangnya
“Keluarga kecil kita juga merindukan pemimpinnya dan kalau mau kita bisa melakukan ini sesering mungkin saat libur musim panasku tiba, kau tak perlu terus-menerus bersedih!” Seulmi tersenyum, Namjoon sendiri bingung bagaimana seyum itu terus terulas untuk orang yang menyakiti si empunya.
“Berhentilah menyesal kau tak akan mendapatkan jawaban darinya oppa, aku sangat menyayangimu begitupun Haneul, dia lebih membutuhkan kau yang jauh lebih kuat!” Namjoon bergeming, nafasnya sesak tiap kali ia kembali teringat bagaimana ia memulai kesalahannya. Menyalahi makna persahabatan mereka hanya karena egonya sendiri, padahal mungkin semuanya akan tetap menjadi lebih baik jika mereka tetap bersahabat saja.
“Mengapa kau tidak marah saja padaku waktu itu? Aku sama sekali tak dapat membaca bahasa hatimu saat kau diam!” Sudah lama Namjoon ingin melontarkan satu-satunya pertanyaan selama empat tahun ini setelah perceraian mereka, Seulmi tak pernah marah padanya, ia hanya diam dan Namjoon benci itu.
“Marah itu perkara yang mudah oppa, aku hanya takut marahku menyakitimu, lagipula kita semua punya salah, salahku adalah tetap menutup mataku walaupun aku sudah tahu kebenarannya sejak sebelum kita menikah, aku pura-pura bodoh dan tidak tahu hanya karena aku ingin memilikimu. Empat tahun lalu saat kau akhirnya mengaku, aku tahu itu adalah saatnya aku melepaskanmu!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Lembayung
FanfictionWhy sunset is more colorful than sunrise? Sometimes good things happen in goodbye...