MHIR || 05.

15.1K 644 2
                                    

Zera melangkah memasuki kelasnya yang sudah dipenuhi oleh murid-murid yang sibuk dengan urusan masing-masing. Suasana riuh terdengar dari berbagai sudut ruangan. Beberapa siswa terlihat asyik mengobrol, sementara yang lain tampak panik, sibuk membolak-balik buku dan mencatat sesuatu dengan tergesa-gesa.

Zera bisa menebak alasan kepanikan itu. Mereka pasti belum mengerjakan PR yang diberikan Bu Sukinah kemarin. Jujur saja, Zera pun sama. PR itu terlalu sulit, dan ia benar-benar tidak tahu bagaimana cara menyelesaikannya.

Dengan langkah malas, Zera berjalan menuju bangkunya yang berada di sebelah Dina, teman sebangkunya sejak awal tahun ajaran. Begitu duduk, ia langsung menyenggol lengan Dina dan merengek tanpa basa-basi.

"Na, gue lihat PR lo dong. Soalnya susah banget, gue nggak bisa jawab pertanyaan yang Bu Sukinah kasih kemarin. Mana soalnya matematika lagi," keluhnya dengan nada penuh penderitaan.

Dina yang sedang menulis sesuatu di buku catatannya langsung menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah Zera dengan tatapan jengah.

"Kebiasaan deh lo. Suka banget nggak ngerjain PR. Makanya, kalau dikasih tugas dari sekolah itu langsung dikerjain. Jangan keluyuran terus kayak lonte," omelnya tanpa ampun.

Zera memanyunkan bibirnya, pertanda bahwa ia kesal dengan omelan Dina. Ia tahu temannya itu benar, tapi tetap saja ia merasa tidak bersalah.

"Iya, iya, lain kali gue kerjain deh," katanya setengah hati. "Tapi, please ... sekarang gue nggak tahu jawabannya. Jadi, nyontek ya?" pintanya dengan nada memelas, berharap Dina akan iba dan menyerahkan bukunya tanpa perlawanan lebih lanjut.

Dina mendesah panjang sebelum akhirnya menyerahkan buku catatannya. "Ya udah, nih."

Mata Zera berbinar senang. Ia segera meraih buku itu, siap untuk menyalin jawaban dengan cepat. Namun, tepat ketika tangannya hendak menyentuh buku Dina, tiba-tiba sebuah tangan lain muncul dan dengan cepat merebutnya.

Zera terkejut, begitu juga Dina. Mereka berdua menoleh, dan yang mereka lihat adalah Zero—si biang onar kelas—berdiri di dekat meja mereka sambil memegang buku catatan itu dengan ekspresi puas.

"Ra, buku lo!" seru Dina panik sambil menunjuk ke arah Zero yang kini sudah mulai berlari mengitari bangku-bangku di dalam kelas.

Zera melotot marah. "WOI! BALIKIN BUKU GUE!" teriaknya lantang.

Zero hanya tertawa mengejek. Ia melambaikan buku itu di udara seperti trofi kemenangan. "Kalau mau, kejar gue!" tantangnya sebelum melesat lebih jauh.

Zera bangkit dengan geram. "Kejar, Na! Kejar!" katanya penuh semangat, berharap Dina akan membantunya.

Namun, bukannya ikut berlari, Dina justru menutup telinganya rapat-rapat. Suara Zera yang melengking tadi sukses membuat telinganya berdenging. Ditambah lagi, mendadak kakinya terasa kram, membuatnya tidak bisa bergerak dari kursinya.

Melihat Dina yang hanya diam, Zera pun akhirnya berinisiatif sendiri. Dengan kecepatan penuh, ia berlari mengejar Zero yang sudah berlari jauh lebih dulu.

Zero bukan pelari yang buruk, tapi Zera juga bukan orang yang mudah menyerah. Ia terus mengejar dengan napas memburu, melewati meja dan bangku yang hampir membuatnya tersandung beberapa kali.

"BALIKIN BUKU GUE!" teriak Zera penuh amarah, suaranya menggema di seluruh kelas.

Zero menoleh ke belakang dengan senyum mengejek. "SALAH SENDIRI NGERJAIN PR DI SEKOLAH!" balasnya dengan suara tidak kalah keras.

Murid-murid lain yang melihat kejar-kejaran ini hanya bisa tertawa atau menggelengkan kepala. Suasana kelas yang awalnya dipenuhi kepanikan PR, kini berubah menjadi arena sirkus kecil berkat dua orang itu.

My Husband Is Ridiculous [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang