"Kita semua belajar. Belajar menyelami kehidupan. Setiap kepingnya tak pernah bisa kita bayangkan. Sebagian menjadi pelajaran, sebagian lagi jadi kenangan. Semua orang mengalaminya"
ₛₛₛ
Situasi siang ini sedang bersahabat. Di luar tak lagi turun hujan deras, berganti dengan teriknya matahari, tapi angin kencang cukup menyapu seluruh permukaan ibukota. Semua orang sedang ramai pergi ke satu tempat, khususnya restoran. Jam - jam krusial bagi perut yang meronta - ronta untuk diisi, katanya.
Jika di luar ramai, berbanding terbalik dengan kondisi di dalam sebuah unit apartemen yang berada di lantai 12. Meski suara televisi bising, tapi pikirannya tak terfokus ke tayangan tersebut. Dirinya justru sedang berkelana bebas dalam lamunannya, memandang matahari yang terik, sebuah kebiasaan barunya sejak musim panas mampir.
Ya, perempuan itu sedang terduduk di sofa mininya. Menghadap ke kaca bening berukuran besar yang tirainya tertutup setengah. Tangan kanannya memegang gelas kopi meski es-nya mulai mencair. Sedang tangan kirinya hanya sibuk dimainkan di atas sutra bajunya berwarna abu itu. Kosong, seperti tak tau sedang apa dirinya.
Akhir - akhir ini memang begitu. Menganggur membuatnya punya waktu luang yang banyak. Tapi, ia tak tahu apa yang harus dilakukannya. Tiap kali niat produktif itu muncul, selalu ditepis karena ia tidak punya daya melakukannya. Ingin sekali ia memiliki kesibukan, tapi apa daya, beberapa surat lamarannya belum ada yang terjawab. Alhasil kini ia hanya menghabiskan waktunya dalam gedung bertingkat tersebut.
ₛₛₛ
Biasanya, di hari Senin ini, sang pemilik apartemen akan pulang lebih cepat. Sang empu paham kalau ada yang menunggunya di kediamannya. Tak jarang, ia membawa beberapa makanan untuk dihabiskan berdua. Sudah jadi kebiasaan semenjak ada pendatang baru di tempat tinggalnya.
Pukul 16.32 tepat, bel apartemen berbunyi. Menandakan sang pemilik sudah benar - benar menyelesaikan pekerjaannya. Perempuan itu pun langsung berjalan kecil ke arah pintu, menyambut kedatangan sang empu, mengambil plastik berisikan beberapa makanan hangat yang baru saja dibeli.
"Langsung disalin martabaknya. Pesenanmu di bagian atas, ya," ungkap laki - laki yang baru saja meletakkan tas kantor dan segera menuju ke dapur untuk mengambil segelas minum.
"Hmm.. makananmu mau ku hangatin lagi di oven enggak?," jawab lawan bicaranya.
"Enggak usah, aku udah lapar. Mau langsung makan aja," balasnya.
Jika kalian berpikir bahwa dialog di atas dilakukan oleh sepasang suami istri. Jelas kalian salah, nyatanya kini si laki - laki bernama Mahen itu sudah memiliki tunangan. Sedangkan, yang bersamanya itu hanyalah adik perempuan satu - satunya, oh tepatnya adik tiri perempuan satu - satunya.
Hubungan mereka terbilang sangat abstrak, terlebih di masa mudanya. Tapi tampaknya, saat ini semua sudah berjalan dengan sangat baik. Tak lagi ada amarah maupun perasaan mengganjal lainnya. Kini, keduanya sudah sama - sama dewasa, berani menerima semua keputusan serta kenyataan. Meski semua itu butuh proses, namun tidak apa. Itu hal yang wajar, bukan?
Keduanya selesai menghabiskan semua sajian itu di pukul tujuh. Mereka banyak mengobrol tentang hari - hari Mahen, rencana pernikahannya, sampai kegiatan kedepannya yang akan dilakukan oleh sepasang saudara itu.
"Kalau kakak udah nikah, kan bareng di sini. Kayaknya, aku mau balik aja ke rumah nenek di Bandung," ungkap Dissa.
"Jangan, di sini aja, kakak bayarin apartemen buat kamu sampai kamu dapat pekerjaan tetap. Lagipula nenek sibuk ngurus butiknya, ditambah sekarang ada Saka yang numpang disana. Nanti yang ada kalian ribut, kasihan nenek," tutur Mahen pada lawan bicaranya yang terfokus pada siaran televisi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma, Rasa
Teen FictionParuh kedua tahun 2014 silam, Dissa datang ke ibukota, mengukir cerita baru. Dalam perjuangannya beradaptasi dengan hiruk pikuk kehidupan Jakarta, Dissa menemukan banyak teka-teki yang tak pernah diharapkan datang dan kembali ke hidupnya. Semasa me...