BAGIAN I. Rumah yang Terpencar

4 0 0
                                    


Pintu putih di sudut ruangan itu terus diketuk. Tak ada hentinya ketukan itu berbunyi, membuat semua orang terheran mendengarnya. Sementara itu, kondisi di dapur cukup damai, hanya ada pria paruh baya sedang mengambil gelas di pantry. Sedang sang wanitanya sudah duduk rapi di meja makan, ya hanya sendiri. Sebab semuanya masih pada sibuk dengan dunianya.

Sebelum ketukannya semakin memecah hening untuk kesekian kalinya. Pintu itu langsung terbuka, menampilkan perempuan yang baru saja selesai dengan urusannya. Rambutnya masih basah, terlalu malas untuk dikeringkan. Sang empu yang mengetuk segera masuk ke dalam kamar mandi, sudah cukup emosi sampai tak bisa marah lagi.

Seperti biasa, di pukul 7 malam semua penghuni rumah akan menuju ruang makan, untuk makan bersama. Ini sudah jadi kebiasaan sejak 2 tahun lalu. Cukup aneh awalnya, tapi semua berlalu karena terbiasa. Pun, memang tiap orang seharusnya begitu bukan?

Merasa semuanya sudah berkumpul, acara makan malam pun dimulai. Sama seperti sebelumnya, ini bukanlah acara makan resmi, hanya makan malam normal di kebanyakan keluarga. Semua obrolan mengalir begitu saja, beberapa ada yang cukup tertarik beberapa lagi tidak.

"Ayah sudah jadi urus surat izin pindah Dissa kah? Lusa, dia sudah jadwalnya masuk sekolah bukan?," tanya wanita berusia 39 tahun.

"Oh sudah, kemarin juga dapat kabar kalau Dissa keterima di jurusan IPS, gapapa ya dek? Semua jurusan sama saja, kok," balas dan tanya si ayah sambil menatap anak perempuannya.

"Iya.. tapi aku mau masuk minggu depan aja, aku belum siap kalau lusa. Disini lingkungannya beda, aku masih kaget," ujar sang gadis sembari mengambil beberapa tusuk sate ayam yang disajikan diatas meja makan.

"Wah enggak bisa dek. Pihak sekolah sudah suruh kamu masuk lusa. Lagian, kalau nunggu sampai minggu depan juga kelamaan. Keburu kamu bosan," jawab ayah.

Mau tak mau, suka tak suka, Dissa harus menuruti keinginan sang ayah maupun ibu. Di salah satu kursi, anak laki - laki semata wayang itu hanya diam. Ia tak terima fakta kalau saat ini, ia akan pergi ke satu sekolah bersamaan dengan saudaranya. Ia benar - benar tak paham dan tak menyangka kalau hal ini akan terjadi.

Seiring berjalannya waktu, kini kondisi rumah sudah lebih sepi. Orang rumah sudah masuk ke kamarnya masing - masing. Maklum sudah hampir tengah malam, waktunya istirahat bagi mereka yang sudah menempuh segala aktivitas seharian penuh.

Tapi, Dissa tidak bisa memejamkan matanya. Ia tidak habis pikir, bisa - bisanya ayah memindahkannya ke sebuah sekolah di kota besar. Sepanjang sejarahnya, Dissa menolak untuk sekolah di ibukota, ia terlalu menyukai Bandung-nya. Ia damai disana, punya banyak teman, diurus dengan sang nenek. Tidak sampai ayah datang dan mengajaknya pindah, bagaimanapun itu adalah ayah kandungnya, ia sulit menolak.

Diliriknya jam kecil di nakas sebelah kanan, disana tertera pukul 11.40, pantas tak ada suara berisik lagi. Biasanya, sang kakak akan sibuk bermain gitar atau piano di ruang tamu. Tampaknya, saudaranya itu sudah pergi ke kamar untuk istirahat atau belajar, maklum, Mahendra Wiradja, sang kakak pemegang peringkat tiga besar di angkatannya. Hampir tiap tahun, laki - laki itu tak pernah lengser dari urutan kedua atau ketiga, tapi tidak untuk pertama.

ₛₛₛ

Sekilas tentang keluarga Dissa. Perempuan berumur 16 tahun itu sebenarnya tak mempunyai saudara kandung sama sekali. Oh, apakah tadi kalian sempat menemukan Mahen? Ya, Mahen adalah kakak tiri Dissa, mereka hanya berbeda satu tingkat.

Sedari Dissa menempati bangku sekolah dasar. Ia sudah terpisah dengan sang ibu. Tidak ada satu orang pun bisa menggambarkan kondisi keluarga asli Dissa. Mengetahui ibunya melanglang buana dengan dalih mencari sepeser harta untuk menjalani hidup. Dissa kecil hanya bisa melihat kepergian ibu dari jendela mobil. 

Enigma, RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang