1

107 15 2
                                    

Buru-buru, ia harus cepat jika tak ingin nyawanya terancam.

Dengan beringasan Seungkwan, pria 25 tahun itu memasukkan barang-barangnya dalam tas kerjanya. Turtleneck hitamnya berantakan dipadukan dengan celana jeans hitamnya, terlihat sekali serampangan dipakainya. Tapi Seungkwan tak perduli ia sudah telat bangun dan ia tidak boleh terlambat naik bus. Maka setelah melempar ponselnya ke dalam tas dan menyisir surai coklatnya asal-asalan dengan jari, Seungkwan segera melesat keluar apartemennya.

Tidak tahu ini disebut keuntungan atau tidak, tapi karena seringnya ia terlambat bangun dua tungkai kakinya jadi terbiasa berlari demi mengejar bus. Rambutnya yang berantakan pun makin berantakan terkena angin musim gugur, dan walaupun terbiasa napasnya masih saja tersengal-sengal saat dibawa berlari menuju halte bus.

Seungkwan rasanya ingin menangis, gila saja kalau dia sampai terlambat disaat kantornya sedang sibuk-sibuknya. Seungkwan benar-benar ingin menangis ketika bus yang akan dinaikinya sudah datang, dan dengan motivasi besarnya agar tak dikunyah kepala editornya, bahkan dengan air mata yang sudah luruh dan napas tersengal Seungkwan menambah kecepatan hingga akhirnya ia berhasil masuk tepat sebelum pintu bus tertutup.

"Se. . . selamat." Seungkwan yang kelelahan menopangkan tangannya pada lutut sembari satu tangannya yang lain mengurus T-Moneynya. Buru-buru ia mengusap air mata yang bahkan ia tak tahu sudah meluncur di wajahnya.

"Selamat!" Ucapan selamat dengan nada malas-malasan ini Seungkwan sangat mengenalnya, sebelum Seungkwan sempat mendongak dan melihat si pemilik suara, Seungkwan sudah ditarik untuk duduk di kursi bagian tengah bus.

"Vernon! Jangan main tarik, masih untung aku tidak jatuh."

"Ya maaf, ini." Vernon memberinya sekaleng kopi yang masih hangat, rasa hangatnya nyaman sekali di tangannya yang hampir menggigil kedinginan. Ah, sahabatnya ini memang yang terbaik.

"Terima kasih." Buru-buru ia meneguk kopi susu yang diberikan Vernon, perutnya keroncongan ngomong-ngomong dan kopi itu benar-benar penyelamat hidupnya.

"Bagian editorial sibuk sekali ya sampai kau kurang tidur? Mata padamu mengerikan sekali." Vernon mengeluarkan earphone dan ponselnya. Dimulailah kebiasaan Vernon atau Chwe Hansol yang tidak hilang dari jaman sekolah menengah, gaming.

"Aku tidak mau membahasnya rasanya aku ingin berhenti bekerja saja."

"Ya, kau sudah mengatakannya tujuh kali selama seminggu ini." Vernon yang masih fokus dengan gamenya mengambil kaleng kopi yang masih digenggam Seungkwan dan ikut menyesapnya.

Seungkwan hanya dapat menghela napas, pekerjaannya sebagai editor manhwa sebenarnya sangat menguras tenaga. Ia harus mengurus pengarang manhwa, mengingatkan untuk tidak melewati deadline, belum lagi kalau pengarangnya mengalami writer block. Dan karena volume terbaru dari manhwa yang diurusnya akan segera naik cetak beberapa hari lagi, ia harus lembur mengurus name (storyboard) dan menyerahkan ke pengarangnya secepat dan setempat mungkin agar segera dikerjakan pengarangnya.

Perjalanan ke kantornya masih lima belas menit lagi, dan melihat Vernon yang nampaknya tidak bisa diganggu, Seungkwan mengeluarkan ponselnya dan memulai gamenya. Cuma game arcade atau puzzle biasa, bukan game strategy atau RPG macam Vernon. Seungkwan payah dalam urusan main game sebenarnya, tapi Seungkwan memainkan game untuk mengisi waktu luang daripada dia harus mati bosan.

Pagi hari tepat sebelum pukul delapan pagi, keseharian Vernon dan Seungkwan di hari Senin sampai Jumat dalam perjalanan menuju kantor yang sama. Diamond Publisher.


-VerKwan-


Seungkwan meneguk kaleng kopinya yang ketiga hari ini, matanya susah diajak berkompromi. Seungkwan masih harus menempel phototypesetting (kata-kata yang ada di balon dialog komik) untuk empat puluh halaman lagi dan ia paling tidak suka jika potongannya berantakan.

It's Hard to Love | VerKwanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang