Yang lihat 100 lebih, yang vote nggak nyampe 10 ")
Bantu vote sama komen dong, biar gua bisa semangat up sama mikir ")
Langit begitu cerah, dengan sinar matahari yang selalu terpancar bebas. Awan yang bergelung indah diatas sana. Seperti hari biasa, Kenath terduduk dibawah pohon rindang disekitar kampus. Pernah tepat dimana Lera meninggal, Kenath berharap itu hanya mimpi, mimpi yang amat sangat buruk. Tapi, ternyata semua nyata dan rasa sakit menahan kepergian Lera adalah hal yang paling menyakitkan.
Dimana Kenath melihat dengan mata kepalanya sendiri, Lera terbaring kaku diatas kasur dengan balutan selimut batik bewarna cokelat. Sekarang yang ia bawa dan ia lihat adalah kenangan seorang Lera.
Ya kenangan, tanpa merasakan kehadiran dan melihat tawa indah disetiap senyum yang merekah. Kenath mendongak, menatap langit biru diatas sana, tiba-tiba ia terpikir jelas apa yang Lera katakan waktu itu.
"Hidup memang harus dilewati dengan bumbu masalah, jika hidup selalu berjalan lurus tidak akan ada tantangan. Tapi, ada saatnya seseorang merasa lelah dengan bumbu masalah itu. Termasuk aku sendiri, aku sudah cukup kuat menahan setiap masalah yang Tuhan berikan. Tapi, dengan cara menyerah dan putus asa sama sekali tidak akan mendapatkan hasil yang puas."
Setelah mengatakan itu Lera menatap Kenath dengan pandangan bahagia. Tatapan bahagia yang selama ini Kenath inginkan dari gadis itu. Itulah saat pertama kali ia melihat senyum yang merekah dari sudut bibirnya, dan Kenath. Ia merasa sangat bahagia.
"Kunaon sih? titadi cicing wae."
Laki-laki dengan model rambut batok duduk disamping Kenath. Lalu disusul Dion yang ikut serta sambil membawa es krim rasa cokelat favorit nya.
"Cacing? Lo mau makan cacing?"
Rama, menatap Dion dengan tatapan sinis. Tapi hanya dibalas dengan kening yang berkerut bingung.
"Udah lah Kent. Lo mau move on gimana kalau mikirin Lera terus."
Nihil, perkataan Dion sama sekali tidak di balas Kenath. Laki-laki itu malah tengah asik menikmati desiran angin siang dan langit biru diatas sana. Sudah satu tahun semenjak kepergian Lera. Kenath menjadi sosok yang dingin, bahkan Dion saja tidak mengenal Kenath yang sekarang.
"Gue nggak tau, semakin gue berusaha ikhlas semakin gue kepikiran dia."
Dion dan Rama sontak menoleh kearah sumber suara. Tersenyum samar lalu saling berpandangan, mereka juga sama berusaha mengembalikan Kenath seperti semula, jika laki-laki itu terus seperti ini ia akan selalu terpuruk.
"Gue tahu, lo sama Lera udah bareng-bareng selama sepuluh tahun. Dan untuk melupakan Lera juga gue rasa bakal lama. Lo nggak harus melupakan Lera, tapi cukup ikhlasin dia pergi."
Entah berapa kali Dion mengucapkan kata-kata itu. Mungkin sudah berkali-kali atau beribu-ribu kali. Tapi, reaksi Kenath tetap sama, yaitu acuh.
"Gue heran, Lera bisa sekuat baja dan sekuat samson buat ngadepin semua masalahnya. Takjub gue sama Lera, tapi na'as nya nasib dia nggak beruntung."
Kenath menoleh, manatap sinis Rama. Sang empu hanya melengos lalu mengucapkan kata maaf tanpa suara.
"Kalau ngomong di jaga samsul!" cerca Dion
"Lambe ku lemes Di, angel nek dikon jogo."
(Mulut ku suka ceplas ceplos Di, susah kalau disuruh jaga.)"Halah lambemu!"
(Halah mulut lo!)Alih-alih menjawab Kenath hanya geleng-geleng kepala. Benar kata Rama, Lera sekuat baja dan Samson. Bahkan untuk di bandingkan keduanya mungkin Lera jauh lebih kuat. Hening, Dion hanya bergeming menatap Rama sinis. Rama menyatukan telapak tangan lalu mengucapkan kata Maaf tanpa suara.
"Eh, Kent." Kenath menoleh kearah Dion, sebisa mungkin laki-laki itu berhati-hati dalam mengucapkan apa yang harus ia ucapkan kali ini.
"Sudah lo buka buku diary Lera?"
"Sudah. "
Dion hanya mengangguk.
"Tapi jawaban atas pertanyaa'an gue belum sepenuhnya terjawab," ucap Kenath melanjutkan. "Di, gue takut, gue sakit, gue bener-bener nggak bisa ngadepin semuanya. Cinta pertama gue, sekaligus sahabat terbaik gue, pergi. "
Dion dan Rama saling menatap dengan pandangan sayu. Mereka tahu perasaan hancur Kenath, mereka tahu hati Kenath sekarang sudah benar-benar remuk. Senyum yang biasa Kenath umbar, kini sudah benar-benar tertanam didalam sana.
"Kenapa ya, mencintai seseorang yang telah pergi itu sangat menyakitkan? Bahkan untuk di ungkapkan rasa sakitnya gue nggak bisa. Rasanya dunia gue bener-bener udah hancur lebur, semangat gue udah pupus."
Dion menepuk pundak Kenath, lalu berkata. " Gue tahu, Kent. Lebih menyakitkan jika cinta kita pergi, bahkan itu untuk selamanya. Gue juga tahu, alur hidup Tuhan itu sangat rumit. Kita hanya pion, yang sedang berdiri di atas papan catur menunggu sang pemain menjalankannya. Dunia kadang nggak adil buat manusia, dan kita nggak bisa apa-apa. Yang bisa kita lakukan hanya, berjuang, berjuang dan terus berjuang adalah kuncinya. Gue yakin suatu saat nanti lo pasti bisa ikhlasin Lera. "
Dion diam sejenak, kembali merenung dan menatap manik hitam pekat milik Kenath yang sebentar lagi ingin menitikkan air mata.
"Kent, masih banyak seseorang yang pengen lo maju, akhiri semuanya Kenath."
Kenath menoleh menatap Dion kesal. "Di, mengakhiri semuanya nggak semudah itu. Gue butuh waktu! Jadi jangan paksa gue."
"Gue nggak nyuruh lo ngelupain Lera, tapi ikhlasin dia."
Kenath berdiri, entah kenapa perasaan nya semakin sensitif kalau harus menyangkut soal Lera, lagi.
"Mungkin bagi lo, ikhlas adalah kata yang mudah. Tapi sulit buat di lakuin, lo gampang cuma bilang gitu Di, tanpa tahu perasaan gue. Gue kenal Lera selama 10 tahun, dan buat ikhlas dan ngelupain Lera nggak cukup 1 tahun. Gue memang udah ikhlas, tapi entah kenapa hati gue berkata lain!"
"Lo salah Kent, kalau lo gini terus lo bisa ngerugi'in yang lain termasuk orang tua lo!"
Kenath tergelak renyah, memandang Dion semakin intens. Sedangkan Rama bingung harus berbuat apa.
"Gue hidup karena ini jalan gue, dan untuk masalah ngerugi'in orang lain. Gue sama sekali nggak minta, dan kalau menurut lo, gue bikin lo rugi, lo bisa jauh-jauh dari gue."
Dengan deru napas menahan emosi, Kenath melenggang pergi begitu saja. Sudah cukup untuk debat hari ini, perkataan Dion memang benar, tapi cara penyampaian nya yang salah. Dan itu cukup membuat Kenath sakit hati.
Rama langsung memukul pundak Dion cukup kasar. "Salah lo! Kita tahu Kenath, bahkan lo lebih tahu dia, tapi buat bahas kayak gini belum tepat waktunya Di!"
Dion mengerang kecil, lalu mengusap pundak nya. Ia menoleh kearah Rama.
"Gue tahu, tapi gue nggak suka sama sifat dia sekarang," monolog nya.
Rama menghela napas berat, lalu berkata,"Di, perkata'an Kenath benar, mengakhiri semuanya tidak semudah menjalankannya. Mereka udah kenal 10 tahun, dan untuk melupakan semua itu nggak cukup dengan waktu 1 tahun. Kenath masih butuh waktu."
"Kenangan dia dan Lera dulu terlalu banyak, gue tahu posisi Kenath sekarang, itu pasti berat, berat banget."
Dion paham, ia menatap punggung Kenath yang sudah mulai hilang dari pandangan.
"Gue sama Kent, gue sama. Sama-sama nggak percaya kalau Lera pergi, gue juga temen dia, dan perkata'an Rama cukup buat gue ngerti kalau Melupakan tidak semudah mengenal. "
Haloo gimana?
Kayak nya aku bakal namatin cerita ini sampe part sedikit aja ya.
Oke jangan lupa share cerita aku ke temen kalian ya, vote dan komen nya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kenangan Lera (On Going)
General FictionSequel Air Mata Lera (FOLLOW SEBELUM BACA YA SOBAT GUYA!) Ini kisah Lera sebelum mengenal Kenath. Tentang Diary lama yang Kenath buka setelah satu tahun kehilangan sosok sahabat yang ia sayang. ... Aku ingin berjuang lebih lama lagi, tapi keputusan...