Sosok Ayah

13 1 2
                                    

"Aini, kamu di mana, Nak?" panggil Ayah.
"Aku di dapur, Yah. Sedang membuatkan teh untuk Ayah," sahutku.
Ayah segera menghampiri sambil membawakan tas sekolah.
"Ini tasmu, sudah pukul enam lewat lima belas menit. Kamu harus segera ke sekolah," ucap Ayah penuh perhatian.
"Baik, Ayah. Ini tehnya, Yah. Aku berangkat ke sekolah dulu ya," ujar Aini sambil mencium punggung tangan ayahnya.

Aku bersyukur memiliki seorang ayah yang sangat menyayangiku. Beliau dengan telaten merawat anak semata wayangnya ini sejak kecil seorang diri. Kasih sayang ayah begitu luas padaku, dengan sangat ikhlas dan tulus beliau menjadi sosok seorang ayah sekaligus ibu. Sampai saat ini, ibu belum kembali di tengah-tengah kami.

Di rumah yang sederhana inilah, aku tinggal bersama Ayah. Suka dan duka selalu kami lewati bersama. Tak pernah nampak raut kesedihan di wajahnya meskipun beliau sebenarnya juga sudah sangat merindukan ibu. Namun, dengan sekuat tenaga, beliau berusaha menutupinya.

Setiap aku menanyakan tentang ibu, beliau selalu berusaha menenangkanku. Memang tak bisa dipungkiri bahwa aku ingin sekali melihat wajah ibu secara langsung. Sejak lahir, aku sudah ditinggal pergi olehnya. Hanya foto usang bergambar ayah dan ibu yang selalu dipandangi sebagai pengobat rindu.

***

Aku berangkat ke sekolah bersama teman-teman yang tinggalnya tidak jauh dari rumah. Jarak dari rumah ke sekolah lumayan dekat dan kami hanya berjalan kaki untuk menuju ke sana. Angin yang berembus terasa menyejukkan. Pemandangan sekitar yang begitu indah selalu menemani perjalanan ini.

Pembelajaran sudah dimulai. Jam pertama adalah pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan oleh Bu Sarah. Materi pembelajaran kali ini tentang puisi. Semua siswa diberikan tugas untuk membuat puisi.

Aku memang sangat senang membuat puisi, tetapi kali ini tidak. Kertas dihadapanku masih putih–bersih. Tangan ini mulai dingin dan gemetar. Pikiran pun mulai tidak stabil. Ayah …! batinku.

"Aini Kartika Putri!" panggilan Bu Sarah membuyarkan lamunanku.
"I … iya, Bu," sahutku terbata.
"Silakan maju ke depan untuk membacakan hasil puisimu," ujar Bu Sarah.

Hasil puisi? Apa yang harus aku bacakan? Sedangkan aku belum membuatnya sama sekali, batinku.

"Ayo … Aini, silakan ke depan," tegas Bu Sarah.

Aku pun langsung ke depan sambil membawa buku tulis kosong. Semua teman di kelas tampak memperhatikan dengan seksama. Kutarik napas panjang agar bisa mengurangi ketegangan pada diri ini. Kemudian netraku memandangi kertas putih sambil berucap, "I … ibu …."

Mengucapkan kata itu membuat jantung ini berdebar kencang, dada terasa sesak,  seluruh tubuh seolah-olah kaku, dan air mata ini meluap hingga tak terbendung. Sesungguhnya, aku sendiri tidak tahu bagaimana sosok ibu itu?

Melihat kondisi seperti ini, Bu Sarah langsung memelukku dengan erat. Teman-teman sekelas juga ikut menyemangati diriku.

***

Setelah pulang sekolah, aku mengantarkan makanan untuk Ayah yang sedang berada di sawah. Makanan yang dibawa adalah makanan kesukaannya. Pasti beliau akan senang ketika melihatnya.

"Ayah!" panggilku sambil melambaikan tangan ke arahnya.
"Iya, Aini," sahut Ayah datang menghampiri.
"Ayah, makan dulu ya, ini sudah aku bawakan makanan," ucapku.
"Wah … terima kasih ya, Nak," sahut Ayah semringah.
"Iya, Ayah, sama-sama," jawabku.

Aku duduk di pinggir gubuk sambil menunggu Ayah selesai makan. Kupandangi langit berwarna biru muda yang cerah. Namun, entah mengapa tak secerah hatiku. Rasanya aku ingin menangis.

Iringilah Langkahku AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang