Menahan sebuah kerinduan sangatlah berat bagiku, meskipun ada Ayah yang selalu mendampingiku. Namun, saat aku mendengarkan cerita teman-teman yang membicarakan sosok ibu mereka membuat hati ini semakin teriris.
Ibu … sebenarnya kau ada di mana? Mengapa meninggalkan diriku? batinku terisak. Tak terasa air mata ini menetes dengan sendirinya.
"Aini, Ayah sudah selesai makannya," ucap Ayah, "Nak, kamu kenapa? Kok menangis? Apa ada sesuatu yang terjadi padamu?" tanya Ayah sambil mengusap pipiku.
"Aku nggak apa-apa, Yah," sahutku sambil menyeka air mata.
"Jangan berbohong, Nak. Ayo … ceritakan apa yang terjadi?" ujar Ayah yang menghampiri dan duduk disampingku.
Aku pun menceritakan tentang kerinduan diri ini pada Ibu. Ingin sekali aku bertemu dengannya. Memandang wajahnya dengan jelas. Memeluknya dengan erat dan tak akan kulepas, berharap supaya Ibu tidak pergi lagi.
"Ah … itu semua hanya sekedar harapan, Ayah. Sampai sekarang saja kita belum tahu di mana keberadaannya?" ujarku pasrah.
"Jangan menyerah, Nak. Kita doakan saja supaya ibumu baik-baik saja," petuah Ayah.
"Aku selalu berdoa untuk Ibu. Sebenarnya, apa alasan Ibu meninggalkan kita, Yah?!" tanyaku penasaran.
Ayah bergeming dan tampak guratan-guratan kesedihan yang selama ini dia sembunyikan.
"Yah, apa alasannya? Kenapa Ayah enggak menjawab pertanyaanku?" Air mataku mulai menetes kembali.
"Sudah sore, Nak. Ayo kita segera pulang," ajak Ayah yang tidak memberikan penjelasan sama sekali.
"Iya, Ayah," jawabku.
***
Malam terasa begitu syahdu. Suara nyanyian jangkrik menemani dalam kesendirianku. Dersik angin juga terdengar indah.
Aku mengerjakan tugas sekolah dengan semangat karena sebentar lagi aku akan ikut ujian. Ada cita-cita yang ingin diraih. Semoga saja cita-cita ini tercapai.
"Aini, kamu belum tidur, Nak?" panggil Ayah yang tiba-tiba mengejutkanku.
"Belum, Ayah. Aku sedang mengerjakan tugas," jawabku.
"Ini ada sedikit uang, mudah-mudahan bisa kamu gunakan untuk daftar kuliah. Kamu simpan ya uangnya," Ayah menyerahkan uang dan meletakkannya di atas buku pelajaranku.
"Terima kasih, Ayah. Oh iya, tadi Ayah belum jawab pertanyaanku. Boleh aku tahu apa jawabannya, Yah?"
"Ayah keluar dulu ya, Nak. Mau ke rumah Pak RT dulu, ada rapat warga," sahut Ayah sambil mengelus keningku.
Lagi-lagi Ayah selalu menghindar jika aku tanyakan tentang Ibu. Semakin membuat diri ini penasaran. Ada rahasia besar apa yang disembunyikan oleh Ayah?
"Ah … sudahlah, aku lanjutkan saja mengerjakan tugas sekolah karena besok harus dikumpulkan," tukasku.
***
"Aduh … pagi-pagi begini aku tuh kesel banget sama Mama," ucap Lina, teman sekelasku
"Memangnya kenapa? Mungkin kamu yang bikin kesal mamamu," ucapku yang sudah duduk disampingnya.
"Aku itu lagi males banget sarapan, tapi Mama maksa aku terus buat sarapan. Aku bosan makan di rumah, masakannya begitu-begitu aja," tukas Lina.
"Lin, masakan seorang Ibu itu seperti apa sih? Aku dari kecil enggak pernah makan masakan ibuku. Ayah yang selalu membuatkan makanan buatku. Celotehan Ibu juga tidak pernah hadir di rumahku. Hanya celotehan Ayah yang selalu hadir dalam hidupku," ucapku seraya menahan butiran kristal.
Sejenak Lina langsung terdiam. Dia memandangku dengan penuh pilu.
"Sebenarnya, masakan Mama itu enak, tapi aku memang lagi bosan makan di rumah. Mama itu perhatian banget meskipun aku kadang agak cuek sama dia. Kalau enggak ada Mama aku juga masih ribet nyiapin keperluan untuk sekolah. Ya … walaupun aku sudah sebesar ini," jelas Lina.
"Kamu lebih beruntung dibandingkan aku. Seharusnya kamu bisa bersyukur karena memiliki orang tua yang lengkap," ucapku sambil menundukkan wajahku.
![](https://img.wattpad.com/cover/278953882-288-k287461.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Iringilah Langkahku Ayah
General FictionSeorang gadis bernama Aini tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu sejak kecil. Namun, dengan penuh cinta dan kasih dia dirawat dan dibesarkan oleh ayahnya. Sampai pada suatu waktu, dia harus berpisah dengan ayahnya. Dia berharap bisa m...