Telat

124 10 2
                                    

4.15, Matahari masih saja tersenyum dengan angkuh. Panas dan macetnya ibu kota membuat ribuan kepala terasa mendidih. Aku pun merasakan hal yang sama, angin dari AC di mobilku sama sekali tidak bisa melawan rasa panas ini.

Bisa telat kalo gak gerak gini terus, semoga aja Nara gak marah.

“Om, setengah 5 sampe gak ya?” tanyaku pada Om Miftah

“Gak tau deh dek, kalo macet gini besok subuh kali sampenya” cengiran yang tidak serasi dengan kumis tebalnya tercetak jelas saat dia menoleh ke arahku.

“Jangan bercanda dong, Om. Yaudah kalo gitu aku turun sini aja, mending naik ojeg”

“Yah dek, nanti Om yang kena ma—“

Aku membuka pintu mobilku, sudah tak aku dengar apalagi ku perdulikan sungutan bapak-bapak dengan kepala bersinar itu. Jujur aku kasian sih kalo dia kena marah sama ayah atau bunda karena aku naik ojeg, tapi daripada telat.

--

SANGGAR ANARANTA

4.35, aduh udah 5 menit aja telatnya. Gerbang gedung bergaya mimalis itu sudah terlihat. Ku berikan 2 lembar uang lima ribuan kepada tukang ojeg yang mengantarku tadi. Langsung kuayunkan kaki secepat mungkin.

“NENG! NENG! INI KE—“

“Udah bang ambil aja kembaliannya” teriakku tanpa menoleh ke belakang. Aku yakin si abang cuman mau ngasih kembalian, dan aku lebih takut telat lebih lama lagi jika harus mengambil uang kemabalian itu.

BRUK

“Duuh! Jalan liat-liat dong, gak tau orang lagi buru-buru apa? Pantat gue jadi sakit kan nih” omel seseorang yang memiliki suara berat serak-serah basah.

“Maaf kali, gak liat gue juga ja…,” Aku terdiam saat mataku bertemu matanya. Mata hitam pekat seperti langit malam yang tengah menatapku tajam. Tatapannya begitu menghipnotis.

Woi! Lo udah telat kali! Alarm di otakku tiba-tiba menyala dan membuatku tersadar. Tanpa kuperdulikan mata hitam itu lagi, aku lanjutkan ayunan kakiku menuju ruang alfa.

“Jadi tinggal Mia yang belum ada ya?” suara Kak Nara terdengar saat tanganku baru saja mau mendorong pintu ruangan.

Matilah aku!

CrashTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang