Prolog

125 2 1
                                    

Karl menyeka keringatnya yang mulai berjatuhan dari dahinya. Cuaca siang itu benar-benar membuatnya kepanasan. Apalagi kelasnya tengah berada di lapangan sekarang, pelajaran olahraga. Mr. Dave seakan tidak peduli dengan cuaca panas, menyuruh murid-murid berlari keliling lapangan sebanyak 40 putaran.

"Ini gila." Gerutu Keft, sahabat dekat Karl yang kini berada di sebelahnya.

"Yah, mungkin." Karl kembali menyeka keringatnya dengan kasar. Masih 10 putaran lagi, pikirnya.

"Oh ya Karl," Panggil Keft, membuat Karl menoleh ke arahnya tanpa berhenti berlari. "Apa kau tau desas-desus yang ramai dibicarakan murid-murid kelas 11?"

"Tidak." Jawab Karl singkat. Ia kembali menatap lurus ke depan. "Memangnya ada apa? Kau tau kan Keft, aku lebih suka membaca buku-buku novelku dibandingkan membicarakan hal seperti itu." Lanjut Karl kemudian.

Keft mengangguk kecil. "Okay, maaf. Aku memang sedikit pelupa masalah seperti itu. Jadi, yang ku tau, semester ini, tepatnya minggu ini, akan ada murid baru di kelas 11." Ujar Keft.

Karl hanya tersenyum menanggapi perkataan Keft.

"Hei, Ms. Agustin. Apa tanggapanmu? Hanya tersenyum? Oh ya ampun!" Keft memutar bola matanya, membuat Karl menahan tawa.

"Lalu aku harus bagaimana?" Karl mengerling nakal dan berlari mendahului Keft.

"Dasar kau!" Seru Keft seraya berlari mengejar Karl.

Dari kejauhan, seorang pria dengan rambut kecoklatan tampak memperhatikan lapangan secara keseluruhan. Bibirnya tertarik ke atas saat ia melihat dua orang gadis tengah berlari di lapangan seakan berkejar-kejaran. Tiba-tiba bahunya ditepuk pelan dari belakang. Pria itu menoleh dan semakin tersenyum lebar melihat orang yang berada di belakangnya.

"Steven, ayo ke ruang kerja ayahmu." Kata sesosok wanita separuh baya yang masih terlihat cantik dengan baju formalnya.

"Ibu," Pria yang dipanggil Steven itu mendesah. "Jangan seperti itu. Ibu tau kan aku hanya mau menjadi murid biasa disini, tanpa ada yg menyadari kalau ayahku adalah kepala sekolah di sma ini?"

"Baiklah, sayang." Wanita itu tersenyum manis dan menarik Steven perlahan. "Sekarang, ayo cepat ke ruang kepala sekolah. Kau bisa terlambat."

"Okay, bu." Kata Steven. Semoga kelasku menarik, gumamnya perlahan disertai senyuman.

Never.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang