Bab 6

365 35 3
                                    


      Keberhasilan Nawang menyelesaikan presentasi untuk promosinya disambut hangat teman-temannya. Begitu perempuan itu keluar ruangan rapat dengan wajah cerah, Dion langsung memeluknya hangat. Anak muda itu memang manja dengan beberapa karyawan perempuan dewasa di sekitarnya, apalagi dengan Nawang yang katanya seperti almarhumah mamanya. Nawang tidak bisa menolak sikap akrab Dion, biarlah asal tidak merugikan.

      “Gue yakin Bunda bisa jadi bos kita,” celotehnya bangga.

       “Makasih ya, tapi kamu harus lebih rajin lho...” sahut perempuan itu mengingatkan.

       “Pasti Bun, percaya sama Dion. Target kita bakal tercapai,” jawabnya yakin.

      “Musrik Lo, percaya itu sama Tuhan. Ngapain percaya sama Lo!” ledek Pram yang selalu tidak suka dengan gaya manja Dion. “Sirik Lo!” Dion melotot marah tidak terima.  Beberapa orang yang ada di ruangan itu hanya tertawa, sudah biasa melihat dua anak manusia itu berdebat.

       “Kalian itu, kayak anak kecil saja. Sudah balik kerja sana!” perintah Nawang tegas. Masih dengan muka ditekuk, Dion kembali ke meja nya, setelah sebelumnya mengentakkan kaki kasar. Nawang hanya bisa menggelengkan kepala melihat kelakuan si manja, lalu melangkah ke mejanya sendiri.
Baru saja duduk, gawainya bergetar. Satu pesan masuk dari Viona, ajakan untuk makan siang bersama. Apalagi kalau bukan todongan traktiran. Nawang segera mengetik jawaban setuju. Kali ini mereka akan pergi bersama dari kantor. Lupakan pendapat orang lain. Baru selesai dengan sahabatnya, satu pesan masuk lagi.

       “Bun, siang ini kita makan bareng-bareng sama team kan?” Siapa lagi yang berani bertanya begitu kalau bukan Dion.  Nawang tersenyum kecil, anak itu.

       “Maaf gak bisa, saya ada janji dengan yang lain. Besok ya, info teman-teman kita maksi bareng.” Janji Nawang yang disambut dengan emotion love oleh Dion. Perempuan itu menghela napas panjang. Pesan yang ditunggunya tidak datang juga. Sebegitu tidak pedulinya laki-laki yang menyebut dirinya suami. Laki-laki yang berjanji ada dalam suka mau pun duka. Nyatanya laki-laki itu tidak pernah tahu kapan istrinya membutuhkan kehadirannya. Tanpa sadar, Nawang mendesah.

        “Kenapa Bos?” pertanyaan sederhana Pram membuat perempuan berambut panjang itu tersentak.  Laki-laki berkemeja biru itu tengah menatapnya heran.

       “Eh gak kenapa-kenapa. Ada apa?” tanyanya balik. Pram tersenyum bijak, dari tangannya laki-laki itu menyerahkan tumpukan file cukup tebal. Nawang menatap benda itu bingung.

        “Untuk teman setelah Bos makan, tadi pak Hartawan yang minta dikasih ke Bos sekarang.” Pak Hartawan? Berkas apa itu? Tidak seharusnya laki-laki itu memberinya pekerjaan, apalagi lewat Pram. Apa maksudnya? Tidak mau membuat kurir dadakan itu curiga, Nawang hanya mengangguk dan menerima berkas salah alamat itu.

        “Thanks Pram.” Pram mengangguk tanpa suara, sebelum meninggalkan Nawang dengan pertanyaan-pertanyaan tidak terjawab. Satu lagi laki-laki aneh yang harus dihadapinya, selain Damar. Nawang menyimpan tumpukan file dalam maps berwarna biru itu, sebelum memutuskan untuk keluar dari kubikelnya.

       “San, kalau ada yang cari bilang aku ke toilet ya,” bisiknya kepada Santi salah satu anggota team mereka.

        “Siap Bos, ttdj.” Nawang terpaksa tersenyum mendengar pesan aneh gadis berambut merah sebahu itu. Entah apa yang terjadi, perempuan itu merasa teman-temannya bersikap aneh.

        Sebenarnya Nawang tidak sungguh-sungguh ingin ke toilet, dia hanya sedang bingung dengan sikap Damar. Setelah apa yang dilakukannya di ruang rapat tadi, bersemangat memperjuangkan impian semua pekerja, sekarang Nawang merasa hampa. Promosi itu sudah ada dalam genggaman, tetapi sepertinya Damar tidak mengharapkan itu. Selama ini, sang suami tidak pernah keberatan istrinya pulang malam, asal tidak setiap hari. Asal Nawang bisa membagi waktu, tidak mengabaikan anak mereka, harus bisa mengatur waktu dan banyak lagi aturan yang sempat mereka sepakati berdua. Setelah ini, dia tidak mungkin bisa pulang tepat waktu setiap hari. Tanggung jawabnya akan lebih besar, pekerjaan lebih banyak, juga rapat-rapat yang harus diikutinya. Apakah Damar masih akan mentolerasi kesepakatan mereka? Akankah laki-laki itu masih bisa memahami keadaannya?

Tahun KelimaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang