Black Hole

7 0 0
                                    

"Kalau kamu merasa dunia tengah runtuh di atas kepalamu, kamu harus selalu ingat bahwa selalu ada tangan yang terbuka untuk memelukmu. Kamu selalu bisa pulang ke teduh tatapan mata dan rindangnya pengharapanku."

***

Aku tengah berada di sebuah perempatan jalan raya provinsi. Jalan Solo-Jogja. Menunggu besi beroda raksasa yang didominasi warna hijau lewat di depanku, sial! Mereka membawa angin yang mampu membuat motorku beroyang. Juga mengibarkan kerudungku.

Aku hendak ke seberang jalan. Dengan tujuan sebuah bengkel motor yang tak jauh dari minimarket. Aku cukup lama tercenenung, menunggu giliranku menyebrang. Maklum, tak ada lampu merah di titik ini.

Supeltas? Mana mungkin mereka masih berada di jalan. Waktu menunjuk pukul tujuh malam. Bapak Supeltas berpeluit yang baik hati mungkin tengah makan bersama di meja makan bersama keluarganya. Setelah seharian berjibaku dengan terik dan remahan ban kendaraan yang tak jarang terhirup, begitupula dengan klakson yang membikin pekak telinga.

Sudah semenit, masih saja kendaraan ramai. Maklum, ini jam pulang kerja. Ah.. Nyaliku ciut. Ingin kutinggal saja motornya dan aku berjalan ke seberang. Tapi bukankah itu sebuah Kesia-siaan yang bodoh? Akan sama saja hasilnya bukan?

Aku lihat seseorang melambai dari bengkel motor. Seorang laki-laki dengan perawakan yang tidak tinggi-tinggi amat, mungkin sekitar 155cm. Ia melambai dan tersenyum kilat sebelum sibuk dengan gawainya. Sepertinya ia tengah berada dalam panggilan.

Bus terakhir yang lewat adalah bus MIRA, bus patas dengan dominasi cat warna putih dan beberapa garis berwarna orange. Bus yang mengantarkan orang dari Jogja ke Surabaya. Begitu sebaliknya.

Sabarku akhirnya mengantarkanku melewati jalan dua arah yang ramai dengan sorot lampu kendaraan. Memarkirkan motor dan mencari tempat duduk di sebuah kursi yang di bawahnya terdapat ban-ban bekas.

Laki-laki muda yang tadi melambaikan tangan padaku adalah temanku. Ia masih sibuk dengan telfonnya. Ia tengah membicarakan hal-hal serius, tuduhku. Melihatku terduduk memeluk helm ia tersenyum hingga menyipit matanya, sambil meberi kode yang aku artikan 'sebentar ya...' dengan tangan kanan. Aku tidak menjawab. Aku hanya tersenyum. Sambil mencoba membuat tingkahku lebih natural, tidak gugup.

"Sorry, tadi teman menelfon" ujarnya menyadarkan aku yang bengong melihat betapa cekatannya montir memperbaiki motor kawanku ini.

"ah.. santai" jawabku sekilas melihat ke arahnya dan kembali fokus pada montir. aku takut wajahku akan bersemu merah saat memandangnya lekat. Cahaya terang sekali, temanku itu akan mudah melihatnya. Maka kuputuskan untuk bertanya tentang motornya saja. Dan obrolan kami berlanjut dengan bertanya kabar. Ya! Kami telah lama tak berjumpa.

"Jadi kita mau berangkat sekarang?" tanyanya setelah membayar jasa montir

"boleh.. pakai satu motor aja"

"okay.. aku antarkan kamu terlebih dulu" ia mengiyakan ideku.

Laki-laki yang tengah mengendarai motor di belakangku adalah Tyan. Dengan huruf 'Y' bukan 'I'. Rambutnya hitam mengilap dan lurus dengan poni panjangdi sisir kiri. Aku jarang menemui laki-laki dengan gaya rambut seperti itu, poni yang panjang dan disematkan di telinga kiri. Malam ini ia mengenakan kaos tanpa kerah berwarna biru dongker yang dipadukan dengan celana khaki. Perpaduan yang tidak buruk. Cocok untuknya, terkesan santai.

Ia mengantarkanku ke sekretrariat organisasi yang aku ikuti, menungguiku menitipkan motor di sana, dan memboncengku ke kedai kopi favoritnya.

***

"Ini salah satu tempat yang aku suka" ujarnya "kalau kita datang lebih awal, kitab isa melihat sunset, kamu pasti akan senang"

Aku ingin menimpali tanpa sunsetpun aku akan tetap senang, kalau perginya denganmu. Namun aku urungkan. Aku hanya ingin menikmati suaranya yang sesekali diterbangkan angin. Ini café outdoor.

Black HoleTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang