BAB 2

556 30 7
                                    

Aku bersyukur kami tak ketinggalan pesawat. Keadaan lalu lintas Depok-Jakarta-Cengkareng di hari Jumat pagi tak mungkin dibawa santai.

Kulihat tiketku menunjukkan tulisan boarding pukul 10.25 WIB dan sekarang jam tanganku menunjukkan pukul 10.00 WIB. Kami sudah duduk di ruang tunggu Terminal 1 Soekarno-Hatta. Rasanya masih sempat memejamkan mata sejenak untuk mengusir kantuk yang masih membuat mata berat. Bandara pagi ini tampak ramai. Terlihat seorang ibu gemuk berlari menarik koper kecil. Ada anak kecil berlari di belakangnya, berusaha menyamai langkah si ibu. Kuduga mereka satu dari penumpang yang namanya sudah berulang-ulang dipanggil pengeras suara karena hampir ditinggal pesawat. Itulah kenapa Mas Bhas selalu mengomel takut telat jika ada janji. Apalagi janji bepergian jauh dengan pesawat seperti sekarang. Malas katanya kalau harus check-in dengan dua koper sedang dan harus menarik mereka sambil berlari.

Jumat mengawali weekend panjang di minggu ini. Waktunya orang-orang berpesiar. Ada sekeluarga besar, yakni seorang istri dengan tiga orang anak tampak membongkar tas jinjingannya tergesa-gesa. Sepertinya, sang ibu meninggalkan sesuatu padahal pintu liburan sudah di depan mata. Sekarang, orang-orang sudah mulai menyadari bahwa liburan itu perlu. Bukan hanya karena mampu secara finansial, tetapi juga kebutuhan untuk mengistirahatkan otak dan hati sangat diperlukan. Bagaimana mungkin orang-orang yang tinggal di kota besar seperti Jakarta ini tidak stres? Pergi kerja terkena macet, pulang kerja pun masih terkena macet. Sedangkan di kantor hanya jadi suruhan para bos besar.

Aku celingak-celinguk mencari Mas Bhas. Pagi ini aku sudah dibuatnya senewen hanya karena taksi yang kami sewa telat. Sialnya, aku yang menelepon taksi itu semalam. Manalah aku tahu dia akan telat. Jadilah aku objek kemarahannya tadi di rumah.

Sekarang dia tampak berdiri di pojok sambil menelepon. Aku menebak, dia sedang menelepon Ibu. Wajah Mas Bhas ditekuk dan dahinya berkerut menahan kesal. Aku lambaikan tanganku sambil menunjuk ke kursi kosong di sebelahku. Kata orangtua, kalau hati sedang panas, lebih baik duduk daripada berdiri.

Sebenarnya sudah sejak lama Ibu meminta kami cuti lebih panjang untuk acara ini. Maksudnya, supaya bisa partisipasi lebih dalam membantu persiapan pernikahan Indah. Tapi, apa daya, pekerjaan kami berdua tak memungkinkan kami mengambil cuti sangat lama. Sekarang, kalau boleh jujur, aku rasanya keberatan meninggalkan laptop di rumah karena masih banyak data karyawan klien yang perlu aku review secepatnya. Tapi, aku punya pengalaman tak menyenangkan mengenai laptop dan mertua. Pernah suatu kali aku iseng membawa laptopku ke Malang. Niatnya siapa tahu ketika mau tidur di kamar bisa sedikit kerja atau browsing berita. Tapi, begitu sampai rumah dan tas jinjing laptop terlihat di tanganku, Ibu langsung berkomentar sinis, “Apa ndak bosan kerja melulu, Nduk? Atau takut laptopnya hilang disimpan nang umah?”[1] Sejak itu, motoku setiap ke Malang adalah ‘SAY NO TO WORK’ atau dengan kata lain ‘TINGGALKAN LAPTOP ANDA DI RUMAH’. Jadi, bisa dibayangkan alasan pekerjaan pasti tidak bisa diterima dengan baik oleh beliau.

Belum cukup alasan marahnya sampai di situ, tiket yang aku beli mepet di awal minggu ini menyebabkan kami mendarat di Bandara Juanda, Surabaya. Kami masih perlu menempuh jalan darat sekitar 1,5 jam. Sedangkan, jika mendarat langsung di Bandara Abdul Rahman Saleh, Malang, kami bisa sampai di rumah dalam waktu 30 menit saja tanpa terkena macet. Hitungan waktu yang cukup signifikan, bukan? Jadi tak aneh, meski sudah sejak dua hari lalu Mas Bhas menjelaskan apa pun alasannya, ibu tetap tidak akan terima. Semalam pun luapan unek-uneknya masih dilontarkan lewat chatting-an WhatsApp grup keluarga Darsono.

Selain karena harga lebih mahal dan varian maskapai penerbangan lebih banyak untuk rute Jakarta-Surabaya, aku memang sengaja memperlambat waktu tiba di Malang. Pikirku, “Lebih baik aku curi-curi waktu mencari jajanan sambil keliling Kota Pahlawan itu daripada berlama-lama basa-basi dengan keluarga Mas Bhas”. Aku bahkan sengaja tak minta kakak Mas Bhas, Mas Dwi, menjemput kami. Alasan baiknya adalah pasti tenaga Mas Dwi diperlukan di rumah. Sedangkan alasan nakalnya, sekali lagi … supaya lebih bebas!

Mas Bhas bukannya tak kesal dengan tingkah Ibu. Pada dasarnya, mereka berdua sama-sama berwatak keras dan tak mau mengalah. Tapi, di hadapan ibunya, Mas Bhas masih tergolong anak penurut. Begitu juga kakak dan adik Mas Bhas. Tak ada satu pun dari mereka yang pernah membangkang terang-terangan pada Ibu. Kalaupun berseberangan pandangan, tetap saja akhirnya mengalah dengan menerima omelannya. Bapak pun tak pernah ikut komentar kalau Ibu mengomel. Beliau cenderung memilih diam. Kalaupun berkomentar, pasti bilangnya, “Kan kalian sudah tahu, Ibu ya begitu itu.”

Aku tahu Mas Bhas sedikit kecewa dengan hasil kerjaku. Maksudnya, perihal tiket ini. Tapi, bagaimanapun dia harus ikhlas menerima. Salah dia tak sigap mengurusnya sendiri, tapi masih menyempatkan meraih medali finisher di lari maraton minggu lalu.

Mas Bhas masih tampak kikuk meladeni ibunya lewat telepon. Ia berjalan, lalu duduk di sampingku.

“Iya, aku janji ndak kemana-mana dulu, Bu. Wis yo aku ta duduk sek, nanti ta bicara karo Tessa langsung jalan Malang.”[2] Mas Bhas mengakhiri pembicaraan dengan mengucap salam dan mengembuskan napas panjang.

“Nanti langsung jalan ya, Dek! SMS sopirnya kita jalan sekarang. Bilangin jangan telat!”

“Perintah tuan besar siap laksanakan!”godaku padanya sambil menghormat lagaknya prajurit kepada kapten.

Mas Bhas mencubit hidungku, tampak kesal tapi sambil menahan senyum. Senyum gantengnya itu yang membuatku jatuh hati. Senyum tipis malu-malu sang pangeran yang keras kepala. Aku merasa senang bisa melunakkan kesal hatinya saat ini.

Tak lama, panggilan terdengar untuk penerbangan kami. Kami pastikan tak ada yang tertinggal dan kami pun naik pesawat.

Dalam doaku sesaat setelah lepas landas, “Semoga tak ada drama muram lagi hari ini.”

Dan aku memilih tidur selama 1,5 jam perjalanan kali ini.


[1] Apa tidak bosan terus-menerus kerja, Nak? Atau takut laptopnya hilang disimpan di rumah?

[2] Iya, aku janji tak akan kemana-mana dulu, Bu. Sudah ya,aku duduk dulu sekarang, nanti aku bicara ke Tessa supaya kamilangsung jalan Malang

LOVE FATETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang