Reunion - The Story

204 11 3
                                    

Mereka bertiga akan selalu bersahabat. Selamanya. Bahkan sampai maut memisahkan.

Aku berjalan menyusuri trotoar sambil merapatkan jaket. Sebenarnya aku merasa sedikit aneh, seharusnya aku merasa kedinginan karena salju tiba-tiba turun dengan lebat dan seharusnya juga aku akan merasa hangat setelah jaket ini dirapatkan. Tapi nyatanya tidak demikian. Aku tidak merasakan perubahan apapun. Kutempelkan punggung tanganku ke dahi, membolak-baliknya beberapa kali, tapi tidak ada gejala demam sama sekali.

Oh, aku tahu!

Aku habis latihan tinju hari ini. Badanku mengeluarkan banyak keringat, jadi aku tidak merasa kedinginan. Ah, kenapa karena hal seperti itu saja kau jadi bingung, Lee Junho? Dari dulu bodoh, sampai sekarang pun masih bodoh.

Ngomong-ngomong soal bodoh, aku jadi teringat pada Kang Haneul, salah satu sahabat terbaikku yang akan bertemu denganku hari ini. Dia itu pintar sekali, berbanding jauuuuuh sekali denganku. Seandainya nilai-nilai Haneul bisa bersuara, pasti mereka akan meneriakkan Harvard atau John Hopkins barangkali – apalah itu namanya, pokoknya yang fakultas kedokteran terkenal di Amerika – sebagai tujuan mereka. Tapi nyatanya Haneul memilih Seoul University. Cinta tanah air, seperti itu alasan yang dikatakan Haneul padaku. Padahal aku tahu alasan sebenarnya adalah…

Dia tidak bisa berpisah denganku dan Woobin! HAHAHA!

Tawa keras keluar dari pita suaraku. Kalau aku menyebutkan alasan Haneul itu di depannya, dia pasti sudah melemparku dengan salah satu bukunya yang tebal. Meskipun tidak terima, tapi Haneul juga tidak membantah. Aku, Haneul, dan Woobin sudah bersahabat sejak SD. Kemana-mana kami selalu bertiga, bahkan ada yang menyebut kami sebagai three idiots, roda bajaj, sepeda roda tiga, dan semacamnya. Kalau ada salah satu di antara kami yang tidak ada, rasanya seperti  masuk ke sebuah lubang hitam yang sangat besar, kemudian terhempas di sebuah padang pasir negeri antah berantah. Rasanya sepi, dan Haneul membenci rasa itu.

“Oh, Woobin?”

 Aku menghentikan langkah di depan sebuah toko sebuah merk fashion ternama. Di etalase toko itu terpampang foto Woobin memakai tuxedo berwarna hitam super mewah lengkap dengan ekspresi wajah angkuh layaknya eksekutif muda pewaris tahta kerajaan bisnis. Woobin memang terlihat sempurna di foto itu. Dengan wajah luar biasa tampan dan tubuhnya yang tinggi menjulang – duh aku iri sekali pada tinggi badannya – membuatnya terlihat sebagai pria sempurna di foto itu.

Tolong garis bawahi, hanya di foto itu.

Tidak sedikit wanita yang mengejarnya, mengirim cokelat sebagai hadiah valentine, bahkan tak jarang ada yang memintanya langsung menjadi kekasih. Semua wanita itu berpikir kalau Woobin memililki yang namanya boyfriend material. Padahal, seandainya para wanita itu tahu Woobin yang sesungguhnya, aku yakin kata boyfriend material akan mereka hapus dari diri Woobin.

Aku tidak akan mengatakannya pada karena super bodoh itu adalah aib bagi Woobin. Aib itu harus ditutupi, mengerti?

“Wah, lima tahun tak bertemu, rupanya kau sudah jadi model. Benar-benar profesi yang cocok untukmu!”

Reunion (Oneshot)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang