Kegelapan.
Itu adalah hal pertama yang menyapa Lia di lorong kelas. Ini hari Senin, ya, memang. Namun tidak ada satupun orang di lorong. Harusnya petugas kebersihan masih berkutat dengan pel, atau guru yang berbicara dengan laptop.
Namun buku sastra itu penting sekali, di halaman tiga puluh dua ada––ah, sudahlah. Gadis itu memantapkan dirinya dan berjalan di lorong yang lengang.
Setengah jalan sudah berlalu, ia tetap bersama dua musuh bebuyutannya; kegelapan dan keheningan. Sungguh. Lebih baik tidur dan menyalakan musik dengan volume penuh daripada tidur di kesunyian bermandikan detak jam.
Kau tahu, mungkin saja ada sesuatu yang mengagetkannya dari pintu kelas yang semi-terbuka dan––ah. Lia menepis pikirannya dan berjalan, dengan langkah lebar.
Akhirnya. Kelas sudah berada di depannya.
Namun, ketika tangannya hendak memegang kenop pintu, batinnya dihantui rasa takut. Bagaimana jika ada sesuatu yang menungguku di depan pintu?
"Sedang apa di depan kelas?"
Sebuah suara mengejutkannya. Entah efek setengah jam di keheningan, namun suara itu sangat melegakan. Namun, di satu sisi sangat mengejutkan. Sedang apa seorang murid berada di sekolah pada pukul delapan malam? Jantungnya mendadak berpacu lebih cepat daripada kuda di perlombaan pacu kuda.
"Kenapa menatapku seperti itu?" yang bertanya berjalan mendekat. Membuat jantungnya nyaris copot––maksudku, dalam artian ketakutan.
Ah sial. Napasnya mendadak menjadi pendek, ia sadar. Kesadarannya penuh, berusaha mengontrol napasnya, namun tidak bisa. Pandangannya juga kabur, walau ia dalam kesadaran penuh. Lebih menyiksanya.
"Hei, kamu tidak apa-apa?"
Tubuhnya limbung dan tangan kanannya mencengkeram dinding lorong, yang kontras sekali. Dinding yang sedingin es dan tangannya yang berkeringat.
"Lia? Kamu dari kelas delapan, kan?"
"Halo?"
Mendadak, serangan panik sialan itu menghilang. Maksudnya, tentu saja, berangsur menghilang. Gadis itu perlahan mendapatkan kesadaran yang tadi di bawah kendali panik. Aduh, kenapa aku panik padahal dia jelas-jelas seorang manusia?
Lia berdehem, lantas mengambil napas dalam-dalam. Mengangkat bibirnya ke atas, "Apa yang kamu lakukan disini? jam segini? Semalam ini?" tanyanya. Yang ditanya tersenyum tipis. Di kegelapan itu lebih mirip seringaian. Membuat bergidik.
"Tentu saja, kan, aku ketua OSIS. Memangnya itu suatu kesalahan?" tanyanya balik. Mendadak, batinnya disuguhkan dengan kenyataan besar; dia ketua OSIS. Bagaimana mungkin ia tidak mengenalinya?! Benar-benar gadis yang aneh!
"Ah, maafkan aku. Buku sastraku tertinggal di laci." Ucapnya. Dengan sekali tarik napas, akhirnya ia mengatakan hal yang ia pendam sedari tadi, "Tolong ... jaga di depan pintu."
Skenario buruk terputar di kepalanya, membuatnya sedikit gugup dan takut––lebih takut kalau serangan panik itu kembali, maksudku.
Ketua OSIS itu mengiyakan.
Tanpa pikir panjang, Lia berlari membuka pintu kelas, seolah sudah hapal, ia mencari saklar lampu. Batinnya bergurau bahwa akan ada tangan yang menunggunya, di saklar itu. Dalam beberapa kondisi itu mungkin akan jadi sangat romantis. Namun, terdengar bodoh dan menyeramkan untuk situasi kali ini.
Ceklek. Ceklek.
Ia mulai panik. Kenapa tidak mau menyala?! Serunya gemas. Mendengar suara ceklekan berulang kali, membuat cowok yang menunggu di depan pintu menjadi penasaran. "Apa yang kamu lakukan? Kamu tidak tahu lampunya sedang dilepas? Cepat ambil bukumu!"
Sial.
Keadaan akan jadi runyam jika dia mengatakan hal lain lagi. Dingin menyergap sekujur tubuh dan sepertinya cowok itu sudah kesal dan berniat meninggalkannya.
Bagaimana jika ketika tangannya menjulur ke arah laci ada sesuatu yang menariknya? Membuatnya terdampar di pulau hantu nun menakutkan?
"Sherlia Arabella!"
"Cepatlah!"
...
"Kamu sungguh tidak tahu kalau lampunya mati?"
Pembicaraan setelah kejadian "horor" versi Lia tadi diawali dengan pertanyaan itu, sambil memakan eskrim rasa kacang hijau manis.
"Mana kutahu.." alasannya sambil menggigit ujung eskrim itu, menyisakan seperempatnya. "Ah, apa kamu tahu kenapa lampunya mati?"
Atmosfer menjadi sedikit canggung––atau mungkin––menyeramkan? "Apa maksudmu?" Lia sebisa mungkin mencoba untuk tertawa pelan. "Memangnya kenapa?" tanyanya setelah menetralkan napas.
"Ini malam Selasa, lho. Kamu benar-benar tidak tahu, ya? Setahun yang lalu, di hari ini, tanggal 14 Agustus, putri kepala sekolah melakukan eutanasia di sekolah ini. Hari ini.. hari peringatan kematiannya. Semua orang pulang cepat."
"Ya, aku tahu itu. tapi, kenapa harus pulang cepat?"
"Katanya, arwah putrinya akan berkeliaran di sekolah, seolah menjadi siswi. Begitu." Jelasnya. Sebuah penjelasan yang tidak masuk akal, sekaligus menyedihkan. Pasti siswi itu sangat tersiksa, bahkan sampai mengeutanasia dirinya sendiri.
Nada dering ponsel teralun pelan, membuat Lia tersadar dari lamunannya, merogoh jaket dan mengangkat teleponnya.
"Ah iya? Tina? Iya, ada apa?" Lia menatap sekeliling dan berhenti pada ketua OSIS tersebut, tunggu sebentar, isyaratnya, yang diiyakan dengan anggukan kepala.
"Kamu.. setuju untuk melakukan hal itu?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Euthanasia D-1E
Bí ẩn / Giật gânEuthanasia dilegalkan di Indonesia pada 2019, membuat Sherlia kehilangan ibunya, yang mengikuti praktik tersebut. Bersamaan dengan itu, sebuah obat euthanasia bernama D-1E, yang menjamin seseorang mati dalam kebahagiaan. Namun, bagaimana kalau denga...