Chapter 2 : Rencana

3 1 0
                                    

Berjalan mendekati meja perawat, terdapat beberapa perawat muda yang tengah melayani keluarga pasien yang berkonsultasi.

Beberapa keluarga pasien juga terlihat berlalu lalang menuju bangsal keluarga mereka yang kini telah dinyatakan sembuh dari virus.

Seorang perawat muda menghampiri dirinya setelah melihat baju pasien yang sedang dikenakannya terlihat membawa kantung infus.

“permisi, ada yang bisa saya bantu?” wajahnya ramah dengan suara lembut seakan takut dirinya menakuti pasien mungil didepannya.

“maaf suster, boleh saya pinjam telephonenya?” suara lembut terdengar merdu keluar dari bibir mungilnya yang kini terlihat pucat.

“boleh kok dik, ayo saya bantu duduk” dengan lembut membantu membawa infus dan menggantungnya di tiang infus terdekat yang berada di meja ujung.

Setelah melihatnya duduk, suster tersebut mengeluarkan telephone dibawah meja kerja didepan gadis tersebut lalu memberi privasi kepada pasiennya.

Dengan tenang melirik sekitar dan memastikan tidak ada orang didekatnya yang dapat mendengar suaranya nanti, jari lentiknya menekan tombol – tombol yang merangkai sebuah nomor telephone yang diingatnya. Menunggu dengan khawatir, setelah dua kali dering, barulah telephone diujung terangkat.

“Halo” suara merdu dari orang yang telah melahirkannya membuat matanya tanpa sadar berkaca – kaca.

“Halo mah, ini Dea. Mamah lagi apa?”

“Halo, sayang. Mama tadi lagi di kebun belakang jadi agak lama angkat telephonenya.”

“Dea kangen, mah”

“Kita disini semua juga kangen sama kamu, sayang. Kamu disana yang sabar ya, kita akan  bisa jemput kamu seminggu lagi, okeh” dengan suara tercekat mamah menahan tangis dan rindu mendengar suara anak gadisnya yang kini tengah berjuang sendiri dirumah sakit setelah dinyatakan positif terkena virus yang kini tengah melanda orang-orang diseluruh belahan bumi.

“Um, baiklah. Mamah dirumah sama siapa aja?” suaranya cemas memikirkan kemungkinan mimpinya.

“Papah sama kakak kamu ada di taman belakang, Ezra masih disekolah, sayang. Ada apa nak, kenapa kamu cemas gitu?” Flora merasa cemas membayangkan kemungkinan – kemungkinan yang terjadi pada Dea yang sendirian dirumah sakit.

“Mamah, tolong panggilin Papah ya. Dea mau ngomong penting sama Papah”

“okeh, Mamah panggilin Papah kamu sebentar ya” setelah meletakkan gagang telephone di meja, Flora berlari memanggil suaminya.

Dea menunggu dengan tenang dimeja perawat, walau gerakan jarinya yang mengetuk meja menghianati ekspresi tenangnya. Saat ini, dirinya paling merasakan panik dengan waktu yang dirasanya sangat sedikit.

“Halo nak, ada apa. Apakah terjadi sesuatu disana?” Revan, ayah Dea bertanya panik takut anaknya disakiti.

“Papah, tolong dengerin penjelasan Dea baik-baik. Karena apa yang mau Dea sampein sangat penting dan mendesak, okeh?”

“Baiklah nak, kamu bilang pelan-pelan saja papah akan dengerin kamu” Revan mengedikkan bahu tanda tidak tahu kepada putra tertuanya yang kini duduk di sofa dihadapannya.

“Papah liburin semua pembantu dirumah, Mamah dan Ezra jangan pergi keluar rumah dan jangan terima tamu siapapun. Papah dan ka Evan beli semua bahan pokok yang bisa disimpan dalam waktu lama, beli senjata tajam berbagai jenis, beli perlengkapan rumah untuk 4 musim yang bisa didapat dalam waktu singkat, kemudian beli semua jenis benih sayuran dan buah. Setelah itu kalian semua jangan ada yang keluar rumah, kunci gerbang, pintu dan jendela” Dea memberitahu semua daftar kebutuhan penting yang harus didapat dalam waktu singkat.

“Baiklah sayang, Papah dan Evan akan langsung beli semua yang kamu minta barusan” Revan tanpa syarat menjanjikan untuk menuruti semua keinginan putri tercintanya bahkan tanpa bertanya apapun.

“Pah, beberapa hari ini Dea punya ‘penglihatan’ bahwa seminggu kemudian, dunia akan berubah. Akan ada penyebaran virus secara besar-besaran. Orang – orang yang terinfeksi virus, beberapa akan berubah menjadi monster berkulit abu-abu seperti di film, dan sebagian akan membangkitkan suatu kemampuan”. Bisiknya lirih.

“Tunggu-tunggu, maksud kamu kaya yang di film-film itu? Apasih itu namanya, oh iya, zombie?” memastikan tebakan putrinya dengan kekhawatiran yang mendesak dalam suaranya.

“iya pah” setitik kristal air mata jatuh mengingat kembali mimpinya.

Keheningan terjadi pada Revan yang tidak bisa berkata-kata mendengar penjelasan putrinya yang dirasanya sangat mengerikan apabila memang terjadi.

“Pah, pada hari ketujuh akan ada hujan merah, usahakan semuanya berada didalam rumah. Orang yang membangunkan kemampuan akan mengalami demam, sedangkan yang berubah menjadi zombie akan mengalami kejang-kejang dengan urat menyembul keluar. Beritahu berita ini kepada orang-orang yang menurut papah bisa dipercaya”

“hei, baiklah. Papah akan berhati-hati dengan kabar ini. Percayalah, papah akan menangani urusan dirumah” Revan menjanjikan kepada putrinya agar tenang.

Dengan manajemen yang ketat saat ini terhadap virus yang beredar, dirinya tidak bisa meminta rumah sakit untuk memulangkan Dea apabila belum dinyatakan sembuh sepenuhnya.

“baiklah pah, aku akan terus kabari Tindakan selanjutnya. Sampai bertemu disaat berikutnya”

“okeh nak”

Setelah memastikan untuk mengatur keselamatan keluarganya, Dea menghela nafas lega dan memulai untuk menjalankan rencanya dengan tenang.

The Pandemic (Duka Dunia)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang