CHAPTER 25

1.8K 423 7
                                    

Suara serak Nimue yang berusaha membangunkannya memenuhi telinga. "Eira!" Tidak kunjung mendapatkan reaksi, cepat-cepat dia menoleh sekitar untuk mencari sorang penyembuh. "Carikan seorang druid atau nymph! Cepat!" teriaknya pada seluruh awak kapal yang mengerubungi mereka.

Tidak lama setelah itu, seorang druid menerobos kerumunan, sambil mengeluarkan botol kecil berisi ramuan berwarna ungu. "Berikan ini padanya, biarkan hingga masuk tenggorokkannya."

"Ramuan apa ini?" tanya Nimue sebelum membiarkan ramuan itu memasuki tenggorokan Eira.

"Itu ekstrak gratum*," jawabnya.

Nimue yang cukup familiar dengan tumbuh-tumbuhan tentu tahu jenis itu. Gratum memang sangat terkenal untuk mempercepat penyembuhan, namun dia biasanya menumbuk bunga tersebut bersama dengan daunnya.

Osric yang berada di samping Nimue membantunya dengan menumpu kepala Eira agar cairan tersebut dapat dengan cepat menuju tenggorokkannya. Menunggu beberapa saat, tidak ada reaksi apa pun dari Eira. Hingga suara batuk disertai air laut yang memenuhi tenggorokannya menyembur keluar.

"Kau benar-benar gila!" ujar Osric yang akhirnya bisa menapas lega.

Eira yang kembali pada kesadarannya mulai terbatuk-batuk, mengeluarkan sisa air laut yang tidak sengaja terminum. Bajunya telah basah, membuat dirinya sedikit menggigil, sedangkan jubah milik Castro yang dia pakai sebelumnya telah terlepas dan menghilang entah ke mana. Mungkin tertinggal saat dia bertarung tadi. Cepat-cepat, Osric memberikan jubahnya kembali pada Eira.

"Apa yang terjadi?" tanyanya. Tidak yakin dia mengingat kejadian setelah membakar kedua monster yang kini sudah tenggelam di lautan. Namun sisa api dan cairan hitam masih memenuhi laut.

"Para siren menolongmu saat kau tenggelam dan tidak sadarkan diri setelah menyulut api pada para monster." Nimue yang nampak masih khawatir mengerutkan keningnya.

"Ya, dan aku baru tahu bahwa para siren memiliki sayap," sambar Osric.

Sambil bangkit, Eira berusaha menyeimbangi tubuhnya. "Mereka memang tidak memilikinya. Mereka dikutuk oleh lautan, jika mereka memiliki sayap itu berarti dalam dua hari ke depan mereka akan mati. Bayaran mahal untuk menikmati daratan dan melepaskan keabadian." Sedikit terhuyung, Eira yang dibantu Nimue berniat masuk kembali ke lambung kapal. Udara di geladak cukup dingin, terlebih dengan pakiannya yang basah.

Orang-orang yang sejak tadi berkerumun dan mengamati mereka mulai berbisik-bisik. Eira yang tidak menyukai keadaan itu mulai risih dengan apa pun yang mereka bicarakan tentangnya. Hingga seorang fairy dengan sayap berwarna biru mengilat menghampirinya. "Terima kasih sudah menyelamatkan kami," katanya, seraya menyalami tangan Eira.

Eira hanya mengangguk saat perempuan itu menepuk-nepuk tangannya lembut. Menuruni tangga, mereka kembali ke tempat sebelum sebelum semua kejadian itu bermula. Dari setiap sudut, semua mata memandanginya. Membuat perasaan Eira semakin tidak enak saja.

Menghiraukan, mereka kembali duduk di sudut dekat jerami dan kuda-kudanya yang tengah berbaring. Baru saja Eira akan membaringkan tubuhnya, seorang perempuan yang sempat dia lihat sedang berdoa bersama anak-anaknya menghampiri. "Sanrakṣaka," ujarnya dengan bahasa dan logat khas miliknya sambil menangkup wajah Eira dengan kedua tangannya.

Logat bicaranya tidak pernah Eira kenali, mungkin dia tinggal di daerah Barat Afemir. Tempat di mana banyak ras yang belum pernah Eira temui sebelumnya. Tidak mengerti dengan perkataan perempuan itu, Eira hanya mengangguk-angguk kembali. Setelah puas memberikan selamat padanya, perempuan itu akhirnya kembali ke tempatnya.

"Ada sedikit perubahan rencana," ujar Eira setelah mengekor perempuan itu. "Para monster itu hanya pengalihan saja, mereka mengambil hewan-hewan langka yang ada di kapal."

Eira The Last DhampirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang