MHIR || 11.

13.6K 613 1
                                    

Hari ini, Zera dan Zero akan berangkat ke sekolah seperti biasanya. Namun, ada satu hal yang berbeda—status mereka telah berubah. Meskipun usia mereka sudah melewati masa remaja, mereka masih mengikuti kegiatan sekolah layaknya anak-anak muda pada umumnya.

Pagi itu, Zero menghela napas panjang saat melihat meja makan yang kosong. Ia mengerutkan dahi, kemudian melirik ke arah istrinya yang sedang menyisir rambut di depan meja rias dekat dapur. Dengan langkah santai, Zero berjalan mendekatinya.

"Ze, lo nggak masak?" tanyanya seraya bersandar pada kursi makan.

Zera menggeleng tanpa menoleh. "Gue bangun siang, mana keburu masakin lo sarapan. Mending lo cepetan pakai sepatu, habis itu kita ke warung dulu buat beli bubur. Atau, nggak usah ribet, kita makan di kantin aja pas sampai di sekolah."

Zero mendengus kesal. Apa gunanya punya istri kalau makan saja masih harus sendiri-sendiri? Tanpa banyak bicara, ia pun segera menuju dapur, mengambil beberapa bahan makanan, lalu mulai memasak nasi goreng. Baginya, itu makanan paling praktis dan favoritnya. Setidaknya, sarapannya hari ini tidak akan terlewat.

Zera yang menyaksikan Zero dengan cekatan mengolah bahan masakan hanya bisa menundukkan kepala, merasa malu. Dalam hatinya, ia mengakui satu hal yang selama ini ia abaikan—ia tidak bisa memasak.

Berulang kali ia mencoba belajar memasak, tapi hasilnya selalu berakhir buruk. Makanannya gosong, rasanya tidak karuan, bahkan ia sendiri tidak sanggup menyantapnya. Sedangkan Zero? Laki-laki itu bisa memasak tanpa kesulitan sedikit pun. Tangannya lincah mengolah bahan makanan, gerakannya cepat dan efisien seperti seorang chef profesional.

"Ro..." panggil Zera dengan suara pelan.

Zero tidak menoleh, tetapi menjawab sambil terus memasak. "Ya? Lo mau apa? Berangkat? Bentar dulu, nasi gorengnya hampir matang. Kita makan dulu, Ze."

Beberapa menit kemudian, Zero mematikan kompor dan menuangkan nasi goreng yang baru saja matang ke piring besar. Aroma sedap segera memenuhi ruangan. Ia tersenyum puas melihat hasil masakannya.

"Tadaaa! Udah matang. Yuk, makan," ajaknya sambil merangkul pundak Zera yang masih duduk di meja makan.

Tanpa banyak bicara, Zero mulai menyantap nasi gorengnya dengan lahap. Sementara itu, Zera hanya diam, memperhatikan suaminya dari samping. Tatapannya kosong, pikirannya berkecamuk. Ia tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dirinya jauh tertinggal dalam urusan rumah tangga dibandingkan dengan Zero.

Merasa terus diperhatikan, Zero akhirnya menghentikan suapannya dan menatap Zera dengan alis terangkat. "Ze, lo kenapa?"

Zera menghela napas panjang, lalu tersenyum pedih. "Gue malu sama lo, Ro. Lo itu suami gue, seharusnya gue yang siapin makanan buat lo. Gue yang bersihin rumah. Gue yang ngurus semuanya. Tapi kenyataannya lo yang lebih jago dalam semua hal itu. Kenapa lo nggak ceraiin gue aja sih?"

Zero terdiam sejenak, menatap istrinya dengan ekspresi tak terbaca. "Gue pasti ceraiin lo. Tapi nanti."

Zera tertegun. Ia tak tahu harus merasa lega atau justru sedih mendengar jawaban Zero.

Zero melanjutkan, "Dan sekarang kita nggak punya waktu buat ngomongin soal makanan atau pekerjaan rumah. Ini udah siang, waktunya kita sekolah. Jadi, sekarang lo makan dan lupain semua soal pekerjaan rumah atau kewajiban sebagai istri."

Zera menatap Zero dalam-dalam. Tanpa sadar, senyum kecil terukir di wajahnya. Di balik sikap menyebalkannya, Zero ternyata masih bisa bersikap lembut dan perhatian. Walaupun hanya sesaat.

Mereka pun melanjutkan makan dalam diam. Sesekali, Zero mengacak-acak rambut Zera dengan gemas. Bahkan, ia sengaja memegangi ujung rambut istrinya agar tidak menyentuh piring makanan di hadapannya.

Setelah menyantap suapan terakhirnya, Zero berujar, "Kita berangkat bareng."

Zera mengerutkan dahi, bingung. "Kenapa? Gue naik angkot aja. Lagian, motor lo 'kan nggak boleh didudukin sama siapa pun, termasuk gue."

Zero terkekeh. "Itu dulu. Sekarang lo istri gue, dan tugas istri itu mematuhi perintah suaminya. Sekarang, gue perintahkan lo buat berangkat sekolah bareng gue."

"Nggak mau."

"Harus mau," jawab Zero dengan nada santai tetapi penuh tekanan.

"Gue naik ang—"

"Nggak baik ngebantah suami sendiri. Emang lo mau kena azab karena nggak nurutin perintah suami?" ancam Zero.

Zera terdiam. Kali ini, ia tak punya argumen untuk melawan.

"Ish, nyebelin!" gerutunya kesal.

Zero hanya tersenyum puas. Tanpa protes lagi, mereka pun bersiap-siap dan berangkat bersama. Zera duduk di belakang motor Zero dengan wajah cemberut, sementara Zero hanya terkekeh geli melihat istrinya yang masih enggan menerima kenyataan bahwa mereka sekarang adalah suami-istri.

Sesampainya di sekolah, perhatian teman-teman mereka langsung tertuju pada Zera dan Zero yang datang bersama. Bisik-bisik pun mulai terdengar di sekitar mereka.

"Lihat deh! Mereka beneran datang bareng. Berarti rumor itu bener dong?"

"Gila, masa iya musuh bebuyutan kayak mereka bisa nikah?"

"Mungkin mereka dijodohin kali."

Zera mendesah, merasa risih dengan tatapan serta bisikan yang tertuju padanya. Ia menoleh ke arah Zero yang tampak santai seolah tidak peduli dengan apa pun yang terjadi.

"Ro, lo nggak risih sama mereka yang ngomongin kita?" bisik Zera.

Zero hanya terkekeh. "Biarin aja. Lagian, buat apa peduliin omongan orang? Mereka cuma kepo."

Zera mendengus kesal. "Lo nyantai banget. Gue yang risih."

"Santai aja, Ze. Kalau mereka iri, ya biarin aja. Namanya juga hidup, selalu ada yang kepo dan sirik."

Zera hanya bisa menghela napas panjang. Ia melangkah cepat menuju kelasnya, meninggalkan Zero yang masih terkekeh melihat tingkah istrinya.

Hari itu berjalan seperti biasa. Namun, bagi Zera, semua terasa lebih aneh dari sebelumnya. Ia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa sekarang ia adalah istri Zero—laki-laki yang selama ini menjadi musuh bebuyutannya.

My Husband Is Ridiculous [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang