Waktu sekarang menunjukkan pukul 1 siang. Dengan suhu sekitar 28℃, beberapa murid terkapar lemas karena kepanasan, juga segan melanjutkan pembelajaran yang akan dimulai 30 menit lagi. Bahkan banyak lelaki yang membuka seragamnya —memperlihatkan kaos oblong putih dengan alasan gerah. Juga para cewe hits berseragam crop dengan rok span bergerombol pergi menuju kantin, sekedar meredakan haus dengan es rencengan seribuan.
Semua suasana ini sangat dimaklumi oleh wanita berhijab syar'i bernama Mafaza Kamila, tetapi karena kehadiran seorang lelaki, dia terheran bahkan menghentikan kegiatannya —membaca buku.
"Ngapain?” tanya Faza sembari melirik sebentar kearahnya lalu kembali membaca buku.
Lelaki itu bernama Abhizar Nur Ibtisam. Dia bukanlah seorang lelaki yang sering Faza pedulikan keberadaannya, bahkan dalam setahun ini, interaksi antara keduanya sekedar tugas kelompok.
Kini Faza menyimpan buku novel itu di meja. Dia jengah dengan perangai Abhizar. Dengan seenaknya Bhizar duduk menghadap Faza dengan tangan menopang wajahnya sambil melihat lekat gadis itu.
"Apa sih? Ngapain ngeliatin kaya gitu?"
“Kita sekelas udah lama, tapi kenapa gua jarang ngobrol sama lu ya?”
“Mau seribu tahun kita sekelas, aku ga ada niatan tuh buat ngobrol sama kamu!"
"Kenapa?"
"Ga ada gunanya kan?" Faza mengambil lagi buku yang sempat ia tutup itu, lalu kembali melanjutkan bacaannya.
"Ada, biar deket kaya temen-temen yang lain."
"Ga penting," balas Faza tanpa mengalihkan pandangannya dari buku berjudul aku kembali.
“Dasar ukhti! Kalo ngobrol itu harusnya tatap muka lawan bicara. Bukan malah baca buku, ga sopan tau!” jelas Bhizar dengan telunjuk yang ia angkat lalu mendorong pelan dahi Faza.
Bagai petir di siang bolong, Faza terdiam seribu bahasa. Lelaki itu dengan seenaknya menyentuh dirinya. Tangannya mencengkeram kuat buku yang ia genggam, dilanjut dengan helaan nafas. Ia mencoba mengendalikan diri.
“Maksud kamu apa?” tanya Faza melihat Bhizar yang tersenyum tanpa rasa bersalah.
“Apa? Maksudnya yang mana? gini?” Bhizar mengulang kembali aksinya itu, ditambah dengan elusan pelan di kepala Faza yang langsung ditepis oleh buku yang Faza genggam.
“Abhizar!” bentak Faza sembari memukul lengannya keras dengan buku tebal.
“Kenapa?” balasnya dengan wajah datar tak bersalah, sambil mengusap lengan bekas pukulan Faza.
“Ngapain megang-megang? Bukan Mahram tau!”
“Oh ga boleh ya?” jawabnya lugu.
“menurut kamu?”
“Menurut aku mah sih halal, soalnya bukan babi.”
"Ih apa sih?" balas Faza jengkel.
“Pikir tuh pake otak, bukan dengkul. Sana pergi, jangan ganggu Faza!” celetuk Rasna yang terganggu tidurnya akibat pertikaian antara Faza dan Bhizar.
“Ga usah ikut campur deh, lagian siapa si lu? Jelek.”
Wajah Rasna merah padam mendengar jawaban dari Bhizar. Lantas dengan spontan ia melemparkan tempat pensil di depannya menuju Bhizar. Namun tidak kalah sigap, Bhizar segera menangkisnya dan menjulurkan lidahnya kepada Rasna.
“Et, ga kena!”
“Coba Bhizar! Pergi sana! ga usah ganggu kita! Biasanya juga main bareng cabe-cabean sekolah!” usir Faza dengan wajah kesalnya yang tidak bisa disembunyikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jabal Rahmah
Teen FictionJangan takut, aku tau rencana-Nya selalu indah untuk kita kenang nantinya.