Ting tong!
Pergerakan tangan Semesta yang hendak mengangkat piring ke wastafel sontak terhenti ketika bel rumahnya berbunyi. Matanya melirik jam dinding yang bertengger di samping lemari, pukul sembilan malam. Siapa yang akan bertamu di jam seperti ini?
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Semesta lantas berjalan menuju pintu dan membukanya.
"Tante?"
Lidahnya kelu, di hadapannya—ada sosok wanita yang melahirkan Angkasa.
Ibu Angkasa.
"Semesta ..."
Yang dipanggil menjadi panik kala wanita itu meneteskan air mata. Tangan Semesta terulur memeluk tubuh wanita itu. "Tante kenapa? A-Angkasa kenapa?"
Bukan bermaksud berpikir negatif, kalau yang datang Angkasa sambil menangis, Semesta mungkin tidak akan sekhawatir ini, tapi masalahnya yang datang sambil menangis itu bukan Angkasa, melainkan ibunya Angkasa. Bagaimana mungkin pikiran Semesta tetap positif?
"Angkasa ada ke sini?" Semesta menggeleng, hatinya menjadi tak tenang.
"Maafin tante, Angkasa kabur dari rumah."
Satu kalimat. Cukup satu kalimat dan rasanya kepala Semesta ingin pecah.
Semesta membawa tubuh wanita itu duduk di kursi teras rumahnya. Ia mendengar dengan seksama ucapan wanita itu.
Intinya, sesaat yang lalu ibu dan anak itu saling berteriak satu sama lain meluapkan emosi yang terpendam selama ini. Detail, sangat detail penjelasan ibu Angkasa hingga dada Semesta ikut berdenyut mendengarnya.
Angkasa meledak. Malam ini, untuk pertama kalinya Angkasa berani menyuarakan isi hatinya dihadapan sang ibu.
***
Sambungan telfonnya sedari tadi tidak terangkat, Semesta kalut dan bingung ingin mencari Angkasa dimana.
Kakinya berjalan maju-mundur tak karuan mengelilingi teras rumahnya sendiri. Ibu Angkasa telah pulang dan Semesta berjanji untuk membawa Angkasa pulang. Namun, hingga jam menunjukkan pukul sebelas malam Semesta tak kunjung mendapat ide akan titik kemungkinan adanya Angkasa.
Secara perlahan langkah kakinya terhenti.
Sekolah Angkasa tentu sudah tutup dan tidak memungkinkan pemuda itu ada di sana. Ingin menanyakan temannya pun Semesta tidak kenal satu pun temannya Angkasa. Ia hanya sesekali mendengar Angkasa bercerita tanpa mau repot-repot mengetahui wajah teman Angkasa.
Entah dewi fortuna mungkin sedang memihaknya, memori kecil yang dianggap tak penting setahun lalu secara tiba-tiba terbesit masuk kedalam benaknya.
Mungkinkah? Angkasa ada di cafe tempat biasa ia berkumpul dengan temannya?
Semesta tidak akan tahu jika tidak mencari tahu, maka yang ia lakukan sekarang mengambil kunci motor milik adik laki-lakinya dan mengendarai motor itu menuju cafe yang ia pikirkan tadi.
"Rame," gumam Semesta tak suka.
Semesta berjalan masuk dan menaiki tangga hingga lantai tiga. Lantai paling atas tempat rooftop yang pernah Angkasa bicarakan setahun yang lalu.
Ketika ia berada di tangga lantai satu, tubuhnya terhuyung pelan kala sosok lelaki dengan bau rokok menyenggolnya.
"Maaf."
Semesta tersenyum kikuk kemudian menggeleng, "Gapapa kok."
Kakinya lanjut menaiki tangga hingga pintu kaca penghubung outdoor terpampang. Tangannya dengan ragu membuka pintu itu.
YOU ARE READING
Palette | dodam
FanfictionPalette; a colourful universe about them. ❝Angkasa dan Semesta, dua insan yang akan mengajarkan apa arti cinta sesungguhnya.❞ ft. dodam || Completed. ↳ fluffy-romance short story, lokal bxb.