1

8 2 1
                                    

Sebenarnya aku ingin memulai cerita ini langsung disaat aku bertemu dengan Aksara. Tetapi, kurasa aku harus menceritakan dahulu bagaimana perjuanganku masuk universitas, bukan?

Perkenalkan namaku Raina, Adara Raina. Lahir di Jakarta. Usiaku 18 tahun saat mulai kuliah di salah satu perguruan tinggi yang ada di Jawa Barat. Usahaku memperoleh PTN impian bisa dibilang cukup keras. Aku adalah seorang anak kecil dengan impian idealis tapi tak realistis dengan kemampuanku yang minimalis. Seorang siswi SMK keuangan memutuskan untuk memilih studi sastra dengan harapan bisa menjadi penulis yang memiliki karya fiksi terkenal seperti Tere Liye. Sangat idealis bukan? Tentu saja impian itu ditolak dengan sangat keras oleh keluargaku. Kata mereka, menjadi penulis adalah menyerahkan masa depanmu pada kemiskinan. Padahal menurutku, menjadi penulis adalah impian yang sangat keren, karena beberapa orang bahkan sulit sekali menuangkan imajinasi mereka ke dalam tulisan. Penulis adalah salah satu profesi yang tidak akan pernah mati dimakan jaman. Karena selama masih ada yang namanya imajinasi di dunia ini, penulis akan selalu mampu menjadikannya sebuah karya.

Sebelum aku dinyatakan lolos di kampusku saat ini, tentu saja aku juga bertemu dengan kegagalan-kegagalan yang sempat membuatku merasa kalah pada dunia. Aku gagal lewat jalur raport, cukup membuat kecewa tapi aku sadar dengan nilaiku. Aku juga gagal di jalur ujian tulis, tidak lolos tetapi nilaiku ternyata jauh diatas ekspektasi. Aku memutuskan untuk memanfaatkan nilaiku dengan mengikuti ujian mandiri yang diadakan oleh salah satu kampus. Dan ya, disinilah aku.

***

Aku gak pernah nyangka kehidupan kampusku akan penuh dengan drama. Aku pikir ini akan sama seperti saat SMA dulu.

Dimulai dari pertemuanku dengan Aksara.

Saat itu adalah bulan Agustus, aku ingat karena bendera merah putih mulai menghiasi setiap rumah dalam rangka menyambut hari jadi negara tercinta. Hari ini adalah hari pertamaku menjalani masa pengenalan lingkungan kampus. Aku sudah tiba di kota ini sejak sebulan yang lalu, mempersiapkan kepindahanku ke sebuah kos kecil yang akan menjadi tempatku pulang selama 4 tahun masa perkuliahan. Pukul 5 pagi aku sudah siap untuk berangkat ke kampus. Tanganku sibuk sekali, membawa segala perlengkapan yang sudah diperintahkan oleh para senior, guna menghindari hukuman. Jarak kos dengan kampus tidak terlalu jauh, karena itu aku tidak perlu naik kendaraan, lagipula aku lebih suka jalan kaki apalagi di pagi hari seperti ini.

Berjalan sambil memperhatikan pemandangan sekitar, berusaha mengingat setiap detail kota ini. Sudah sebulan di kota ini, aku masih tidak terbiasa saat tubuhku tiba-tiba menggigil ketika angin pagi yang menyapaku. Bodohnya, aku lupa membawa jaket. Sumpah, hidup 18 tahun di Jakarta membuatku lupa kalau Indonesia masih punya kota-kota lain yang memiliki cuaca dingin.
"Bodoh," gerutuku.

Udara dingin membuatku mempercepat langkah. Aku sampai di depan kampus. Padahal masih sejam lagi acara dimulai, para mahasiswa, baik mahasiswa baru maupun kakak-kakak senior yang akan menjadi panitia masa ospek sudah mulai sibuk. Beberapa dari mereka menyapa dan memberi arahan kepada para mahasiswa baru.
"Maba ya, dek?" Aku menoleh saat kudengar pertanyaan itu.
"Iya kak," jawabku.
"Langsung masuk aja yaa lalu nanti akan diberi arahan oleh kakak-kakak yang lain"
"Ah iya kak, terima kasih" setelah mengucapkan terima kasih pada kakak senior tersebut aku langsung memasuki lapangan tempat para mahasiswa baru dikumpulkan.

Aku amati sekeliling, berusaha mencari teman, tetapi sepertinya yang lain sudah saling kenal. Aku menyerah setelah 15 menit mataku bergerak kesana-kesini, berharap menemukan seseorang yang bisa kuajak ngobrol. Aku berjalan mencari tempat duduk (trotoar) yang masih kosong. Ku dapati satu trotoar di bawah pohon. Ku keluarkan ponselku, mencari distraksi dari kekosongan yang menyelimutiku.
"Padahal baru mulai, kenapa udah kosong aja," kataku dalam hati.
Kalau bisa ku minta pada Tuhan untuk memberikan bakat bersosialisasi, karena sejujurnya aku sudah lelah menjadi orang yang bodoh dalam bersosialisasi, memulai obrolan rasanya sangat sulit bagiku.

"Akmal, masuk sini maneh?"
"Akmal anjir aing kira maneh ke univ yang onoh we"
"Akmal prodi apa"
"Mal, bisa nongkrong bareng dong kita"
"Keren weh kamu mal"

Percakapan-percakapan itu membuatku mengalihkan perhatian dari aplikasi twitter yang baru saja kubuka. Aku lihat kerumunan, bercampur antara mahasiswa baru dengan para kakak senior, menyambut seseorang yang hanya kulihat saja aku sudah tahu tingkat kepopulerannya. Dan hebatnya, dia mahasiswa baru juga.

Bisa kalian tebak dia siapa? Ya, pemeran utama dalam cerita ini. Aksara Malaka. Kalian pasti bertanya-tanya kenapa Aksara dipanggil Akmal, kenapa Aksara tidak dipanggil Aksara saja? Tenang, semua akan kujawab. Yang jelas, tidak lama setelah itu, pandanganku dan Aksara bertemu.

Itulah pertemuan pertamaku dengannya.

Aksara MalakaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang