School

23 11 13
                                    

Happy Reading :)

Pagi yang cerah untuk awali aktifitas, kendaraan di kepadatan jalan ini tak luput dari pandangan seorang gadis yang duduk tegak di mobil. Jari nya mengetuk paha yang terbalut rok sekolah, matanya kemudian melihat jam tangan.

Menghela nafas, "masih lama, ya?"

Sang pengemudi melirik lewat kaca depan, tahu kegusaran Nona muda nya ini. Jam telah menunjukkan pukul 06.45, mereka kini terjebak macet, jarak yang ditempuh masih lumayan lama jika masih macet seperti ini. Bisa saja mereka telat sampai di Sekolah Baru Nonanya.

"Kayanya masih, Non. Kemacetannya parah, dan disini tidak ada jalan pintas." Ujarnya terus terang.

Gadis itu mengangguk, kemudian memejamkan matanya. Mencoba yakin kan diri, perlahan senyum tipis terbit di wajah indah dan putih nya.

"Makasih Pak Adi, saya sampai sini saja. Bapak pulang dan beritahu Mama, saya mau lari." Ujar nya.

Sontak membuat Pak Adi, supir pribadi itu membulatkan matanya. "Jangan, Non. Nanti capek, jarak nya masih lumayan jauh kalo ditempuh dengan berjalan."

Membuka pintu, "kan saya bilang nya lari bukan jalan. Dah ya, saya bakal baik-baik aja. Assalamualaikum!" Ucapan itu perlahan tak terdengar ketika dia menutup pintu, berjalan kemudian berlari perlahan.

Gadis berseragam putih abu-abu, rambut hitam panjang yang tergerai tertiup angin, matanya fokus pada jalan yang akan di lalui. Menyalip dan menyalip dengan kaki jenjangnya, menghiraukan tatapan penasaran orang-orang.

Dia, Hanzania putri. Berhasil menarik perhatian orang sepanjang jalan, menurutnya, tidak ada yang tidak mungkin ketika dia sudah berusaha.

batinnya berkata,
Iya, sih cape. Tapi udah takdir.

---

Di Sekolah Perwira, sekolah elit yang fasilitas dan kenyamanan nya tak perlu diragukan. Memiliki lapang yang luas, kantin dengan menu yang lengkap, plus dengan murid nya yang beragam. Keberagaman inilah yang membuat Sekolah jadi lengkap.

Di kelas XI IPA 2, beberapa pemuda duduk dikursi, melingkar. Modal dengan menyatukan meja-meja. Yang lainnya tidak jauh beda, sibuk dengan kegiatan tersendiri.

"Truth or dare mau?" Pemuda berambut pirang itu berkata, menatap penuh harapan pada 2 teman di sekeliling nya. Wajahnya, jangan diragukan lagi.

Disampingnya, pemuda berambut hitam legam, berdecak. "Udah ga zaman kali."

Wajah Irfan tertekuk, tak terima dengan penolakan itu. "Ayolah, Kle... kapan lagi kan kita main bareng kek gini, Lo kan biasanya sibuk sama cewek Lo yang bejibun nya minta ampun." Ujar nya.

Saat tak ada respon dari orang berkaitan, Irfan memandang ke depan. Pemuda berambut  cokelat itu sedang membaca buku, kaca mata bertengger manis di hidung mancung nya.

"Koko, ayo main truth or dare ish!" Irfan berkata sambil menggoyangkan lengan sang pemuda.

Berdecak, tatapannya mengintimidasi sang pelaku yang menganggu. Dia cowok, kan? mengapa merengek seperti bayi manja saja.

Pasrah saat seperti ini memang jawabannya, "oke!"

"Yeay!" Sorak Irfan, tangan nya reflek menggoyangkan badan Koko. Namanya Riko Septiana, panggilan Koko hanya untuk Irfan saja.

Koko menabok keras lengan Klefa, si pemuda berambut hitam legam itu meringis. "Apa sih!"

"Ikutan truth or dare, kalo ngga si manja bakal ngamuk." Katanya santai.

Sedangkan Irfan misuh-misuh. Enak saja dikatakan manja.

Irfan tersenyum lebar saat Kedua pemuda itu duduk anteng, setelah pinjam spidol di sekretaris kelas. Ia memutar nya ditengah tengah, berhenti pada Klefa, si playboy yang sayangnya ganteng. Bukan seperti sangkakala,

Shut! Hanya kita yang tahu

"Ngga mau basa basi! ngga ada milih memilih, abang Klefa harus tembak murid baru yang datang hari ini kalo dia cewek!" Kata nya semangat.

Sedangkan Koko menatapnya datar, tidak salah kah tantangan itu diberikan pada playboy macam Klefa ini?

Klefa tersenyum miring, "itu gam--"

"Tantangan basi kaya gitu harus dimusnahkan! Tantangan nya ngga banget, banci!"

Teriakan wanita itu membuat mereka menoleh, terdengar sampai sudut kelas. Tapi yang lain hanya melirik sekilas. Mencoba tak peduli.

Pandangan Irfan menjadi tajam, "maksud Lo apa?"

Klefa terdiam, dia ingat cewek itu. Cewek sekelas nya, pendiam, misterius, yang sekalinya ngomong pasti ngga ada benernya.

Cewek dengan nama Asta Sheila itu besedekap dada. Memandang ketiga cowok most wanted itu dengan tatapan yang sulit di artikan.

Merasa jika harga dirinya dipertaruhkan, Klefa berujar, "jadi, Lo punya tantangan apa buat gue?"

Terpaku, ketiganya dibuat menunduk memikirkan tantangan yang diberikan lewat gulungan kertas yang dilempar itu.

Harus kah diterima?

---

"Capek juga," ujar Hanza.

Dia melirik gerbang yang masih terbuka, dengan jurus andalan dia berlari begitu kencang, tersisa beberapa menit lagi dan bel akan berbunyi.

Melangkah, Hanza menyapa pak satpam. Setengah berlari menghampiri seorang siswi di koridor sana.

"Kak!"

Siswi itu menengok ke belakang, sesaat terpana akan paras rupawan gadis di depannya ini.

"Kantin dimana?" kata nya tanpa basa-basi

"Ha?"

"Ck, kantin dimana?"

"O-oh, kamu lurus aja, ada pertigaan belok kanan." Ujarnya gagap.

Hanza mengangguk dan berterimakasih, melangkah kembali pada tujuannya. Pandangan nya mengedar, kantin yang luas, makanan yang lengkap, dan para siswa yang ganteng.

Khem

"Eyo girl!" Teriakan membahana itu mengalihkan pandangan Hanza pada dua orang gadis berseragam sama.

Hanza menghampiri meja yang terletak di pojok, duduk dan memakan kue kering di meja. Acuh pada tatapan penasaran para siswa siswi.

"Itu kue kering gue, asal nyomot aja lo!" Rahda berujar.

Membuat Deila mengangguk, tak ayal memasukkan kue itu ke mulutnya juga. Membuat Rahda menabok lengannya.

Deila mencondongkan badannya, menatap serius pada Hanza.

"Kok telat?"

"Takdir."

Rahda memutar bola nya malas, kata kata andalan itu masih melekat pada seorang Hanza ternyata. Rahda, Deila dan Hanza adalah teman dekat semasa kecil. Orang tua mereka juga dekat karena bisnis. Mereka sering berpindah pindah. Dan saat itu Hanza harus ke Surabaya sedangkan mereka ke Jakarta.

Tentu saja senang saat ada kabar Hanza akan tinggal disini juga, menetap seperti mereka. Setelah bertahun tahun tak jumpa.

Mengembalikan tubuhnya ke semula, menyeruput cokelat panas yang telah dibelinya tadi. Kemudian menatap kedua teman nya serius, lagi.

" Menurut psikolog--"

"Sut sut sut, pagi gini udah mau ceramah aja lo!" Ujar Rahda ngegas. Temannya yang satu ini pasti akan menyangkut kan segala hal dengan Psikologi. Limited edition memang.

Kring kring

Bel berbunyi, waktunya masuk. Membuat Rahda menutup wadah kue nya setelah dicomot Hanza.

"Yok masuk, Lo sekelas sama kita kan, Hanza." Ucap Deila, diangguki.

"Btw guys, kue kering gue rasanya gimana?"

Hanza berdiri, berjalan pelan sambil menjawab,

"hambar, kaya lo."

"Najong"

---

queentyaa1

SIRIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang