prolog

160 10 0
                                    

Anika bersiap dengan dandanan yang paling biasa, tidak ingin mencari perhatian dengan kemungkinan dirinya akan dikenali orang-orang ataupun penggemarnya. Hanya celana pendek selutut yang berwarna coklat tua, kaus putih dengan grafiti warna-warni, serta kardigan hitam favoritnya, dia berdiri di belakang pintu depan apartemen yang sudah dia huni selama empat tahun terakhir. Ransel besar berisi beberapa baju ganti, laptop, dan peralatan lainnya, dia siap untuk pergi ke studio. Sudah lama sejak ia menginjakkan kakinya di Fastlane Facility, tempat dia dan teman-temannya meracik musik yang bagi sebagian orang masuk ke kategori berisik.

Gadis dengan rambut sedang berikal di ujungnya itu hendak menalikan sepatu ketika mendengar ketukan-gedoran berkali-kali dari arah pintu.

"Iya, tunggu sebentar!" teriaknya. Pasti itu Sam yang sudah berada di depan pintu. Anika melirik jam tangan yang terikat di pergelangannya. Bukankah kemarin cowok jangkung itu berkata akan menjemputnya sedikit lebih lama. Ah, mungkin urusannya selesai lebih cepat. "Masuklah, Sam!"

Anika merapikan kembali barang-barangnya yang berserakan di meja kopi, mengecek sekali apa saja yang bakal dia bawa hari ini. Memastikan rumah sudah beres dan kembali bisa layak huni saat ia kembali. Bunyi klik pintu depan terdengar walaupun gadis itu berada di dapur. Ia menggumam lirih saat melihat isi kulkas yang sudah hampir habis, dan mencatat di ponsel apa saja badang yang ia perlukan. "Aku harus membeli saat kembali nanti."

"Sam, tunggu sebentar lagi. Aku akan segera selesai," Anika memberitahu teman yang sudah bertahun-tahun ia kenal. "Maaf, aku tidak punya kopi untukmu pagi ini. Lain kali aku akan membelinya dan menyimpan agar-"

Namun, tubuhnya membeku sesaat setelah melihat seseorang yang seharusnya tidak berada di sini. Untuk sekian detik jantungnya berhenti berdetak. Ruangan terasa hampa udara, seolah semua persediaan tersedot hanya dengan kehadiran pria itu.

"Kamu bukan Sam." Hanya itu yang mampu Anika katakan setelah bersusah payah mengais sisa oksigen di paru-parunya.

Kini jantungnya kembali berdenyut lagi. Namun, debaran itu... tidak seharusnya masih ada setelah sekian lama tanpa jantungnya. Tatapannya tak fokus, berusaha mengelak dari kenyataan bahwa pria itu berada tepat di hadapannya. Mulutnya mengering, semua ucapan dan serapah hanya tertinggal di kerongkongan.

"Oh, apa ka-"

"Hanya itu?" tanyanya dengan dingin.

Tatapan mata itu sama seperti yang Anika ingat ketika amarah menggelegak siap termuntahkan dari dirinya. Namun, bagaimanapun Anika berusaha menenangkannya diri, hampir saja selalu gagal. Apa yang salah dari sapaan yang ia berikan.

Anika menarik napas dan mengembuskannya dengan kasar. Jantungnya berkhianat dan debaran itu kembali lagi. Berdenging hingga ke telinganya. Ia tersenyum membalas sengatan sorot itu. "Terima kasih sudah repot-repot berkunjung, tapi aku harus segera pergi sekarang."

Kakinya hendak keluar dari pembatas apartemen miliknya. Namun tubuhnya tertahan di sana. Cengkeraman kuat dari tangan yang sekian purnama tak pernah lagi dia rasakan terasa jauh lebih kokoh dari saat itu.

Lelaki itu menahan geram. "Siapa dia?"

Aroma aftershave yang dulu sering ia hidu menyeruak di hadapannya. Anika menatapnya dengan berani. Napasnya hampir memburu, tapi dia urungkan. Alih-alih seringai yang ia berikan. "Aku dan kamu sudah selesai. Bahkan aku dan kamu tidak memulai apa pun."

[]

IncompleteWhere stories live. Discover now