"Lepaskan," pintaku dengan nada perintah. Apa sih diinginkan pria ini? Bukankah urusanku dengannya sudah selesai berbulan-bulan yang lalu. Kugerakkan tanganku yang masih juga belum terlepas darinya. Aku memandang lenganku yang sedang berusaha lepas dari cengkeraman telapak tangannya yang lebar dan terasa hangat. "Aku harus pergi," geramku.
Namun, tidak sesuai dengan apa yang kukira, malah semakin menguat.
"Tidak," ujarnya singkat.
Aku menghela napas; mengalah bukan berarti aku kalah, bukan? Lagipula aku dan pria di depanku tidak memperebutkan apa pun. Hanya mengulang kata-kata yang sejak tadi tidak ada ujungnya. Setidaknya aku mencoba mengajaknya untuk berbicaralah sebagai manusia normal.
Kulirik lagi jam, tapi kali ini aku melihatnya dari layar ponsel. Masih cukup waktu untuk menunggu Sam untuk menjemputku. "Baiklah." Kulambaikan tanganku pada sembarang tempat. "Mari duduk sejenak dan membicarakan apa yang kamu mau, Marcus."
Kupersilakan pria itu duduk di mana pun yang dia mau, aku tak peduli. Sedangkan aku lebih memilih tempat yang lebih jauh. Berjaga-jaga untuk kesehatan jantungku yang mengancam akan berkhianat. Sudah cukup kedatangannya yang mendadak, bahkan aku tidak sempat menanyakan padanya dari mana dia tahu tempat tinggalku. Apa dia semacam penguntit? Itu agak menakutkan.
Marcus masih berdiri, kali ini tangannya berada di dalam saku coat. Agak aneh di cuaca seperti ini memakai coat panjang. Apa dia kedinginan? Ah, apa peduliku padanya. Kami-aku dan dia hanya pernah tinggal satu rumah. Namun dengan surat nikah resmi. Well, tak perlu kusebutkan juga kalau kami sempat tidur bersama, bukan? Wajar saja dalam hubungan suami istri.
Pandangan Marcus meneliti sekeliling ruang tempat tinggalku. Penuh penilaian, sesekali mengernyitkan dahi. Bibirnya yang merah cenderung gelap, mengingatkanku pada ciuman-ciuman panas beberapa bulan lalu. Helaian surai gelap yang sempat aku jadikan favorit kini sedikit memanjang. Aku gemas sekali, ingin kubenamkan jariku di antaranya.
Ah, sial! Aku memalingkan wajahku. Apa yang kamu pikirkan, Ann!
"Rumahmu bagus. Aku suka." Tanpa aba dan menelurkan kata dalam nada datar. "Sepertinya udara di sini benar-benar cocok untukmu, Anika."
Marcus berkeliling melihat-lihat dan menilai rumahku. Sofa besar berwarna krem, dengan beberapa helai baju yang tersampir di sandarannya, membuat pria itu berlama menatapnya. Jarinya yang panjang membelai dagu, lalu beralih ke dahinya yang lebar, mengurutnya perlahan. Raut tak suka bisa kulihat saat dia mengambil kaus hitam favoritku dengan ujung jari, seolah benda menjijikkan. Walaupun memang iya, tapi sepertinya bukan itu masalahnya.
"Terima kasih atas pujiannya," balasku. Memang apa lagi yang bisa kukatakan. "Jadi... apa yang membuatmu jauh-jauh ke sini?" Sejujurnya aku penasaran apa yang membuatnya hingga perlu datang dan menemuiku ketika hanya perlu bantuan kurir untuk mengirimkan dokumen sialan itu. "Kalau hanya untuk memberikan salinan surat perceraian, kurasa kamu cukup mengirimkannya lewat kurir. Atau kamu bisa memberikannya pada pengacaramu."
Marcus masih terus memandangi tumpukan pakaian dan segala hal yang ada di ruangan kecil tapi nyaman bagiku selama ini, tak menghiraukan ucapanku. "Atau kamu merasa rindu padaku, Marcus sayang?" tebakku telak.
Ah, itu kan tidak mungkin, Ann, kamu kan hanya pengalihan sementara baginya. Lupakan saja, pikirku konyol. Aku terkekeh tanpa sadar dengan pemikiranku sendiri. Kulihat pria itu dari balik rambutku yang tersingkap, tanpa ekspresi ataupun senyum yang dulu pernah aku ingat.
"Ya, Ann, sangat." Kali ini tegasnya tanpa berpikir. Rahangnya mengetat, sorot matanya menatapku tajam dan tanpa ragu. Napasnya tenang dan membuat ruangan di sekitarku ikut membeku, seolah waktu tak ada lagi.
Dan aku seketika terdiam.
[]

YOU ARE READING
Incomplete
Short Story"Jadi, di mana surat yang harus aku tanda tangani?" "Tidak ada." "..." "Aku sudah membatalkannya. Perjanjian itu." "Aku memutuskan untuk kita tetap bersama. Rasanya aku tanpamu selama ini... tidak lengkap." Kukira aku dan kamu hanya cukup sampai di...