Hal. 1

81 9 0
                                    

"Kalau Papa begitu memaksa aku untuk melakukannya, buatkan perjanjian untukku." Aku menatap dengan segala keberanian yang tersisa di diriku kepada pria hampir setengah baya di depanku ini. Kuakui kalau saja bukan karena dia ayahku-ayah kandungku, mungkin aku bakal tergila-gila padanya seperti ibuku yang malang.

Rufi Eicca Harzeeg hampir saja berteriak di ruang baca ayahnya. Aku? Berteriak? Namun kuurungkan mengingat Vonny Hardjanto sangat tidak menyukai, bahkan membenci suara bising, terutama suara yang keluar dari mulutku, si anak haram suaminya.

"Kamu-"

"Apa?" tantangku. "Selama ini aku hidup dengan kemampuan aku sendiri. Apa Papa pernah bertanya bagaimana keadaan aku, apakah aku baik-baik saja," bantahku. Aku memang hidup sendiri sejak berusia 17 tahun, usia legal untuk menentukan segala keputusan bagi diriku sendiri. Pergi meninggalkan mansion terkutuk ini demi sebuah kebebasan. Dan ibuku. Setiap waktu yang dihabiskan untuk mencari beliau sepertinya sia-sia mengingat aku tak memiliki sumber daya yang bisa kugunakan untuk menemukan wanita yang pernah melahirkanku

"Tidak. Papa sama sekali tidak mempedulikan aku. Aku sampai berada di titik ini karena aku sendiri."

Aku beruntung mewarisi sedikit darah seniman dari ibu, hingga suatu ketika aku mencoba mencari uang dengan menulis. Entah apa saja yang kutulis hingga kupikir mampu membuatku menghasilkan uang yang cukup untuk tabunganku sendiri. Tentu saja identitas samaran yang kugunakan. Tak mungkin aku menggunakan namaku yang sebenarnya, ataupun nama besar keluarga ayahku. Bagi mereka itu seperti membuang kotoran di wajah. Sama sekali bukan gaya keluarga itu jika memiliki darah yang tidak berhubungan dengan dunia bisnis.

Sayangnya, hubungan dengan ibuku adalah kesalahan di masa muda Papa. Dan aku adalah konsekuensi dari kesalahan itu. Bertahun-tahun ayah dan ibuku merahasiakan hubungan mereka, hingga aku cukup umur untuk menyadari bahwa kedua orang tuaku tak pernah dan tidak akan pernah bersama.

Aku menghela napas perlahan, meredam amarah yang mulai meninggi. Tak ada yang bisa aku dapatkan jika jiwa pemberontakku berbicara. Papa berjiwa kapitalis, tentu saja yang menguntungkan baginya yang akan dia ambil. "Jadi, wajar saja kan aku meminta sesuatu seperti ini. Apa jaminan yang bisa Papa berikan jika aku menuruti keinginan Papa? Aku tidak mau rugi di akhir jika ini yang Papa inginkan."

"Berapa pun akan Papa kasih asal kamu bersedia, Rufika. Setidaknya bantu Papa agar mendapatkan dana dari orang itu." Ayahku, Sergey Hardjanto, pria berdarah Slovakia dengan pembawaan tegas, penuh intimidasi berusaha merilekskan dirinya dengan menghenyakkan punggungnya di kursi favoritnya.

Jika bukan karena informasi keberadaan ibuku, aku tak akan mau melakukan hal konyol ini. Di antara anak-anaknya, hanya aku dan Sabrina yang perempuan. Ketiga saudara lelakiku tak mungkin juga akan melakukan hal ini. Mereka bahkan tak pernah tahu keberadaanku. Kalaupun iya, kami tak pernah bertemu sama sekali.

"Lagipula kenapa Papa memintaku yang melakukannya. Kenapa bukan Sabrina, putri kesayangan Papa. Aku tidak pernah berpikir akan membuat Papa mendapatkan keuntungan dariku." Memang benar, dengan statusku yang hanya anak di luar nikah, tak ada apa pun yang bisa membuat Sergey melirikku.

Tatapan matanya menerawang jauh, melewatiku. "Karena kakakmu--"

"Aku tidak punya 'kakak'," selaku.

"Kakakmu, Sabrina, yang memulai semua ini. Dan keluarga mereka menginginkan anggota keluarga kita bertanggung jawab atas kejadian itu."

Netraku menajam dengan fakta yang baru saja aku tahu. Apa maksud papa? Dia membuatku jadi kambing hitam untuknya? Pria ini gila.

"Papa akan memberitahumu sesuatu tentang Christiana Harzeeg. Ya, ibumu. Kalau kamu mau menuruti permintaan Papa, akan kuberitahu tentang wanita itu. Kamu masih mencarinya, bukan?"

"..."

"Dan Papa akan mengabulkan semua keinginan kamu, Rufika. Karena kamu anakku. Ingat itu. Darah Hardjanto mengalir dalam darahmu. Bukan hanya Harzeeg yang gila itu."

[]

IncompleteWhere stories live. Discover now