"Harusnya kamu tidak menggambar sesuatu yang mengerikan seperti ini, Riri."
Riri yang masih berusia sembilan tahun itu mendongak menatap wajah seseorang yang berdiri di hadapannya seraya mendekap erat lukisannya.
Suara bisikan yang sangat berisik memenuhi ruangan disertai dengan munculnya bayangan tangan-tangan menembus seluruh penjuru ruangan dan bergerak perlahan mendekati Riri yang mulai menunduk sembari memejamkan matanya. Tangan mungilnya bergetar, usai melihat bayangan tangan-tangan yang bermunculan sesaat setelah wajah pria dihadapannya perlahan mendekat seraya menatapnya tajam.
Wujud yang semula berupa siluet pria dengan tinggi badan seratus tujuh puluh sentimeter berubah menjadi sesosok mengerikan dengan banyak luka tusuk di lehernya. Senyuman yang semakin melebar mendekati telinga, juga kedua bola mata yang bergantian terjatuh ke lantai meninggalkan kelopak mata yang terus-menerus meneteskan darah ke lantai.
Riri perlahan membuka matanya saat sesuatu yang hangat menetes di tangannya. Darah dari kelopak mata pria itu juga mengotori lukisan milik gadis itu.
Lukisan wanita yang tampak menundukkan kepala dengan leher yang terikat kuat oleh tali tambang panjang yang dilukis sampai ke ujung bingkai lukisan disertai kaki tanpa jari mengambang di atas lantai. Lukisan hitam putih yang terlihat menyedihkan sekaligus mengerikan itu kini berubah warna menjadi merah. Gadis itu mencoba menyingkirkan tetesan-tetesan darah milik pria yang kini mulai berjongkok tepat di depan matanya dengan mengusap-usap cairan tersebut hingga ke ujung lukisan sampai akhirnya tetesan darah itu semakin deras hingga menutupi seluruh lukisannya.
Gadis kecil itu berhenti mengusap dan mengangkat kepalanya perlahan, lalu berteriak kencang, "Ayah jahat!"
Seketika tangan-tangan yang sebelumnya mengambang di udara itu menyerang dan menutup mulut dan hidungnya hingga mata gadis bergaun putih lengan pendek selutut itu membelalak kehabisan napas. Sekuat apapun ia berusaha menyingkirkan tangan-tangan itu, tetap saja tenaganya tak sebanding dengan kekuatan ribuan bayangan tangan tersebut.
Tepat setelah pria dihadapannya mencekiknya dengan erat, ia akhirnya terbangun dari mimpi buruknya.
Bukan lagi sesosok gadis kecil berusia sembilan tahun, namun remaja SMA yang kini berusia tujuh belas tahun.
Riri bangkit dari posisi berbaringnya dan mengedarkan pandangan hingga berakhir di jendela kamarnya. Terik matahari pagi tampak mengintip melalui celah gordennya.
Gadis cantik itu menghela napas sebelum akhirnya ia berjalan mengambil handuk dan mendatangi kamar mandi.
Sesampainya di dalam kamar mandi, Riri mendekati cermin dan berhenti di depan wastafel yang dindingnya terdapat cermin.
Gadis itu menyingkirkan helaian rambutnya yang menutupi lehernya dan memperlihatkan pantulan dirinya yang perlahan menyentuh bekas luka goresan pisau yang memenuhi leher bagian depannya layaknya sebuah kalung tanpa liontin.
"Bekas luka ini... mungkin bakalan tetap ada sampai aku mati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Escape From Fate
Teen Fiction"Permainan paling tidak menyenangkan di dunia ini adalah permainan takdir." - Riri Anatya Zahra "Bahkan jika kamu membenci takdir Tuhan, kebahagiaan yang kamu rasakan kemarin, saat ini dan esok juga merupakan takdir." - Arjuna Haidar Muzakki ***** "...