Dara April

10 1 0
                                    

April 2018

Dara memijarkan sebuah lilin di atas meja belajarnya tanpa lampu kamar yang menerangi. Ia memejamkan mata, sebisa mungkin untuk berkonsentrasi demi menelisik pesan yang hendak disampaikan oleh suara yang mengganggunya dua tahun terakhir. Ia telah mengabaikannya sekian lama. Bukan, bukan karena ia tak acuh, tetapi karena suara itu tidak menyebut namanya, melainkan sesuatu yang asing, yang bahkan tidak wajar sebagai sebuah nama. Karena itulah, logikanya selalu menyangkal. Walaupun berkali-kali berusaha menepis, sebagian dirinya mengatakan bahwa yang dimaksud adalah benar ia. Tidak meleset. Oleh karena itu, sekuat apapun ia menghindar, suara itu masih di sana, mengomentari segala hal dalam hidupnya.

"Satu April!" Telinganya tegak. Itu memang tanggal lahirnya, tapi siapa pula yang memanggil seseorang dengan tanggal lahir? Sebelum hari ini, Dara akan berontak, tapi kali ini tidak. Ia akan menyelesaikan masalah apapun itu yang membuat dirinya terkungkung dalam spektrum suara ini.

"Kau seharusnya mati! Kau pantas mati!" Dara menelan ludah, berusaha menguatkan diri, saat mendengar kata-kata itu lagi. Kehadiran suara itu mencampuri kehidupannya sejak ia berusia lima belas tahun. Tidak lama setelah orang tuanya memutuskan berpisah dan meninggalkannya.

"Kau tidak berguna. Untuk apa hidup jika tidak bisa menjalankan titah? Dasar. Kau benar-benar memalukan sebagai Waracetika, Satu April."

Ia selalu menangkap kata-kata itu. Satu April... Waracetika... Kalau ia boleh menilai, suara itu sebenarnya suara perempuan paling menghanyutkan yang pernah ia dengar. Ia pasti sudah jatuh ke dalam pesonanya, jika bukan karena kata-kata buruk yang dilontarkannya.

"Baiklah, sekarang aku sudah menjalankan ritual lilin yang kau minta. Apakah itu tidak cukup...?" lirih Dara. Sebenarnya ia tidak terlalu mengerti titah apa yang dimaksud dan untuk apa ia harus menyalakan lilin ini. Apakah wanita itu penolong atau musuh? Ia juga tidak tahu. Dahulu, ia menyalahkan suara itu karena telah menjadi pembawa sial dalam hidupnya, yang membuat orang tuanya tak lagi hangat kepadanya. Namun, kondisi semakin membingungkan. Suara itu selalu menuduh Dara telah melakukan sesuatu yang tidak hormat, melecehkan, sehingga ia harus dihukum. Cemooh-cemooh itu terus menghujani kepercayaan dirinya, sampai ia mulai berpikir bahwa mungkin nasibnya kini adalah hasil dari ketidakpatuhannya terhadap suara itu.

Semua terasa asing, tetapi keasingan itu pula yang menetap dalam diri Dara. Yang awalnya berbulan-bulan kini mulai menginjak tahun. Masa lalu dan masa depan, semua hitam. Rumah yang biasa dihuni oleh ia dan kedua orang tuanya kini dibekam kecanggungan. Terkadang, ia tertawa sendirian demi memecah suasana yang ia benci itu. Ia tidak betah, tapi ia malu jika orang-orang mengetahui bahwa ia dihantui oleh sebuah suara tak dikenal. Gila? Ia benar-benar tidak siap dengan sebutan itu.

"Kau harus melaksanakannya. Tugasmu sebagai Waracetika. Menjaga April."

Dara melirik kalender yang bertengger di dinding, selagi ia adalah orang yang sering lupa tanggal. Matanya menemukan bahwa hari ini adalah hari ke-12 di bulan April.

"Candra Arsita murka melihatmu abai selama dua belas hari ini. Kau sebenarnya sudah abai sejak bertahun-tahun lalu, tapi Candra Arsita memberikan pengampunan padamu. Tetapi, semua itu ada batasnya. Kami harus menyampaikan bahwa sekarang kau harus melakukan penebusan."

Dara mengerutkan keningnya. "Tunggu... Bisakah kalian jelaskan mengenai... Aku tidak tahu mengapa kalian memanggilku Satu April. Namaku Dara. Lalu Waracetika, Candra Arsita... Apakah kalian yakin tidak salah orang?"

"Itulah sebabnya kau tidak boleh memusuhiku. Aku ada di sini untuk membantumu. Dan kau ada di sini untuk membantu manusia-manusia di Bumi."

"Di Bumi? Maksudmu... Kau tidak berasal dari Bumi?"

Dara AprilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang