My Name is Leila

639 41 33
                                    

[Leila's POV]


Ya, mereka harus sadar. Sadar kalau aku selalu ada untuknya. Apakah itu sulit? Menurutku tidak. Tapi mungkin sulit bagi yang tidak mengerti arti persahabatan. Dan hanya menganggap semua orang sama. Hanya sebatas teman. Kutelusuri lagi liku-liku kehidupanku sampai pada akhirnya, ada seseorang yang mengaku sebagai sahabatku.


"Aku mohon Leila, bantulah aku. Kau kan sahabatku."


Apa? Dia mengucapkannya dalam satu detik? Dia pikir dengan ucapannya aku dapat tertipu?


"Baiklah, karena aku adalah sahabat yang dibutuhkan saat kau sedang sulit saja. Menggelikan sekali, Clara."


Mudah sekali Clara berkata seperti itu. Memangnya mencari sahabat semudah mengibaskan rambut? Oh, aku lupa kalau Clara adalah orang kuno yang suka menipu orang. Ya, kuno sekali dirinya. Sampai-sampai aku geli sendiri mengingat bagaimana caranya ia mengucapkan kata sahabat.


Sekarang aku sudah sekolah di High School City. Aku sudah terbebas dari warna kelabu yang mencekat. Ya, kehidupan aneh yang kujalani di Elementary School. Lupakan saja. Sekolah di High School City memang menyenangkan. Karena di sana ada lelaki yang kukagumi. Gery Alexander, yang biasa kupanggil Gee. Aku kenal dengannya saat kami dipasangkan saat tugas 'Buat dan Ceritakan'. Dia orang yang keren, kurasa.


Dia menawarkan persahabatan. Dan aku menyutujuinya, walau dengan anggukan. Kami tetap satu tim dalam setiap tugas kelompok. Menyenangkan bukan? Aku melihat Gee seperti Greyson Chance. Kau tau? Musisi Amerika berkulit putih dan tampan :3


"Leila, kau sakit?" oh ya ampun, aku terasa terbang.


Saat ini, aku dan Gee sedang berada di taman. Tempat favorite kami berdua. Meluangkan waktu bersama, bercanda bahkan kami sering bertukar cerita mengenai masalah kehidupan kami masing-masing. Sungguh, seumur hidupku baru kali ini aku merasakan apa itu persahabatan. Aku memang dulu paham betul akan apa itu sahabat. Bahkan tak jarang aku sering meminta persahabatan kepada teman-teman ku dulu. Namun, nihil. Mungkin memang Tuhan menuliskan garis hidupku seperti ini. Mencoba melewati masalah-masalah hidupku, sendiri. Jika kau bertanya, di mana orangtuaku? Saudara-saudaraku? Jawabannya, tidak ada. Orangtuaku mengalami kecelakaan pesawat dua tahun lalu. Dan sialnya, aku ini anak tunggal. So, dari aku mulai masuk ke High School City aku sudah hidup mandiri. Tinggal di sebuah rumah asrama kecil nan sederhana.


"Leila? Kau baik-baik saja?" tanya Gee yang seketika membuyarkan lamunanku.


"Sedikit, mungkin."


"Aku mengkhawatirkanmu, Lee.." kali ini pipiku merona. Mungkin melebihi warna blush on.


"Tenang saja, Gee."


Ada sedikit beberapa jeda di antara kami. Jujur saja, kali ini aku malu hanya untuk sekedar mendongakkan kepalaku. Akhirnya karena rongga dadaku sudah terdesak akan penasaran melihat apa yang terjadi. Karena memang jujur, ini moment yang sangat jarang terjadi pada kami. Saat aku sudah merasa menstabilkan kembali rona di pipiku, kuberanikan diri untuk mendongak ke arahnya. Melihat, apa yang ia lakukan sehingga terjadi keheningan seperti ini.


"Ng? Gee? Kenapa melihatku? Ada yang salah dengan wajahku?" tanyaku cepat saat mengetahui bahwa sedari tadi ia menatap wajahku.


Astaga, tolong Tuhan jangan munculkan semburat merah itu sekarang. Kumohon.


"Ada, itu." ia menunjuk wajahku.


"Apa, sih?"


"Wajahmu manis sekali, Lee." Mm? Sial, sial!! Ayolaah tutupi, tutupi, aku yakin wajahku merona saat ini.


LEILA [Short Story]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang