Selamat 76 tahun kemerdekaan, Indonesia🇮🇩❤️
***
[ Happy Reading ]
"Kepada Sang Saka Merah Putih. Hormattt ... Grak!”
Setelah mendengar kata 'grak' diteriakkan dengan sekuat tenaga oleh sang pemimpin upacara, aku lantas menaikkan tangan dan membentuk sikap hormat menghadap ke bendera. Para paduan suara yang terdiri dari dua puluhan orang itu mulai melantunkan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan negeri. Seiring dengan nyanyian tersebut, dua perempuan petugas pengibar bendera mulai menarik-ulur tali guna menaikkan bendera merah putih hingga di titik paling atas—tanda bahwa merdeka sudah menjadi milik negeri seutuhnya. Sedangkan, satu-satunya kaum adam di petugas pengibar bendera berdiri di tepat di depan tiang bendera dengan gaya hormat yang sama dengan kami—para peserta—.
Aku ikut menggerakkan bibir dan turut menyumbangkan suaraku guna melantunkan lagu sakral tersebut. Hanya sedikit suara yang kukeluarkan, mengingat tak ada kata 'merdu' yang bisa didengar.
Aku memfokuskan tatapan pada bendera yang perlahan mulai naik. Hari ini bukanlah hari biasa pelaksanaan upacara bendera, melainkan upacara memperingati 76 tahun kemerdekaan negeri tercinta. Aku tak bisa menahan rasa haru jika mengingat segala perjuangan para pahlawan dalam memerdekakan Indonesia. Dari penjajahan yang menyakitkan raga, peperangan bersimbah darah, hingga kegigihan para the founding fathers dalam merumuskan Pancasila dan mengejar kemerdekaan. Semua dilakukan semata-mata demi untuk kebebasan negeri tercinta mereka.
Meski kebebasan yang digiring-giring itu sedikit tergeser saat ini akibat pandemi COVID-19 yang masih merajalela. Adanya masker yang menutupi wajah tampan dan cantik para petugas dan keadaan lapangan sekolah yang hanya diisi oleh murid kelas 12 sebagai peserta menandakan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Bersyukurnya, upacara kemerdekaan ini masih mendapatkan izin untuk dilaksanakan. Walau rasanya ini tidak selengkap biasanya.
Karena asyik melamun, aku tidak sadar bila bendera kebangsaanku telah tiba pada puncak tertingginya.
Selamat 76 tahun kemerdekaan, Bangsaku tercinta. Semoga pandemi akan segera berakhir. Semoga kebebasan menjadi milik kita kembali.
***
Aku menyusuri jalanan gang yang sedikit becek bekas hujan kemarin guna cepat sampai di rumah. Sebenarnya, masih ada jalan lain yang lebih bagus untuk kulewati dibanding melalui gang satu ini. Namun, jaraknya akan berkali-kali lipat lebih jauh. Dan, kali ini aku ingin cepat tiba di rumah dan langsung menyantap hasil masakan ibu yang maknyus itu. Maklum, aku masih belum sarapan dari tadi pagi. Maka dari itu, jalan inilah yang aku ambil. Lagipula, jalanan tidak sebecek kala musim hujan biasanya. Aku tinggal berjalan di tengah-tengah dan niscaya terhindar dari kebecekan itu.
Gang yang kulewati bernama gang Kehidupan. Sesuai namanya, gang ini terlihat begitu hidup dengan bendera merah putih yang menggantung di tiang tiap rumah. Ada sekitar belasan rumah sebelum ujung gang yang mengarah pada tembusan berupa pertigaan jalan. Setidaknya, hanya tinggal beberapa meter lagi, jalanan gang ini akan berakhir.
Aku sibuk menoleh ke kanan dan kiri gang, menikmati pemandangan kain berwarna merah putih yang berkibar penuh makna. Sayangnya, saat aku semakin menggapai ujung gang, sebuah rumah tua tanpa kibaran bendera di depannya membuatku berhenti melangkah. Aku pun tidak mengerti mengapa aku mendadak berhenti, mengingat tujuan utamaku ialah hendak cepat pulang ke rumah.
Tapi, melihat punggung laki-laki paruh baya yang kuyakini sebagai pak Banu—pemilik rumah tua itu, aku sontak menyapanya. Pak Banu tengah menyapu halaman rumahnya yang dipenuhi oleh dedaunan kering.
“Selamat pagi, Pak Banu,” sapaku setelah melirik jam tangan yang masih mengarah ke angka 9. Waktu yang masih pantas dikategorikan sebagai pagi.
Pak Banu menghentikan aktivitasnya dan membalas sapaanku dengan nada bicara khas miliknya. Aku lantas sedikit berbasa-basi kepada beliau dengan menanyakan perihal kabar dan sebagainya—sebelum aku melontarkan pertanyaan utamaku.
“Ngomong-ngomong, tumben sekali Bapak tidak memasang bendera di depan rumah?”
Kulihat Pak Banu sedikit tertawa. “Tumben kata kau? Berarti, kau baru kali ini ngelewatin rumahku saat 17 agustusan.”
Ucapan Pak Banu membuatku terheran. Bukankah kalimat yang diucapkannya barusan mengindikasikan bahwa ia memang tidak pernah memasang bendera sebelum-sebelumnya?
“Dari semenjak aku tinggal di sini sampai sekarang, mana pernah aku pasang bendera di depan rumah,” lanjutnya.
“Kenapa begitu, Pak?”
“Ya, suka-suka aku lah. Lagipula, ada atau tidaknya bendera di depan rumah juga tidak berpengaruh apa-apa. Bukan begitu?”
Aku menganggukkan kepala, sebelum menyampaikan pendapatku. “Ya, memang nggak berpengaruh apa-apa, sih, Pak. Tapi, setidaknya, dengan cara itu kita bisa turut mengabadikan kemerdekaan.”
“Hei, Anak kecil!”Telunjuk Pak Banu dinaikkan sejejer dengan wajahku. “Tahu apa kau soal kemerdekaan?” tanyanya lantas mengusap kumis tebalnya.
“Biar kuberitahu kau soal kemerdekaan. Kata merdeka itu artinya bebas dari segala bentuk penjajahan. Nah, itu masker yang kau pakai. Apa itu yang namanya kebebasan?”
Aku dapat mengerti arah pembicaraan Pak Banu. Mungkin, ia berpikir bahwa negara Indonesia tidak sedang merdeka, sebab masih dijajah oleh pandemi COVID-19 yang menyengsarakan. Namun, tidak hanya negara Indonesia saja yang terkena imbasnya, melainkan seisi dunia.
“Tapi, Pak. Kan bukan Indonesia saja. Negara-negara besar di dunia juga terkena imbasnya. Jadi, harap maklum saja kalau dunia sedang tidak baik,” ujarku kembali berpendapat.
Pak Banu lagi-lagi tertawa kecil. “Ha, sini kau sini.”
Pak Banu meletakkan sapu rotan yang tadi dipegangnya, lantas berjalan masuk ke dalam rumahnya. “Kau tunggu di sini sebentar.”
Beberapa saat kemudian, Pak Banu keluar dengan setumpuk koran yang ada di tangannya. Ia menaruh koran-koran itu di atas meja teras. “Coba kau baca judul tebal setiap koran ini.”
Aku tidak banyak bertanya dan langsung membaca setiap headline koran yang sengaja dicetak tebal. Setelah kulihat, ternyata koran yang diberikan pak Banu tidaklah dicetak pada tahun yang sama. Ada koran dari tahun 1999 hingga yang terkini. Semua isu yang diangkat tidak jauh dari masalah dana yang dimakan para bedebah dan berbagai tindakan lain yang mengindikasikan bahwa ... Indonesia tidak pernah baik-baik saja dari kata kecurangan. Kecurangan yang lantas menyengsarakan para kaum tingkatan bawah.
“Apa semua ini bisa kau maklumi? 76 tahun kemerdekaan dan hal-hal semacam ini masih ditemui di berbagai sudut kehidupan. Apa masih bisa dimaklumi?” tanya Pak Banu yang membuatku terdiam. Kalau begini ceritanya, tentu tidak bisa dimaklumi lagi.
“Gadis cantik, biar kuberitahu kau,” ujar Pak Banu lantas menepuk bahuku perlahan. “Merdeka itu 76 tahun yang lalu. Saat itu para pejuang bangsa berhasil mengalahkan penjajah. Tapi, setelah itu, Indonesia kembali dijajah. Kali ini, penjajahnya bukan dari bangsa lain, melainkan dari bangsa itu sendiri. Sampai sini, kau paham?”
Aku menaik-turunkan kepalaku dua kali tanda bahwa aku mengerti dengan apa yang disampaikan Pak Banu.
Pak Banu benar. Merdeka itu 76 tahun yang lalu. Karena, hingga 76 tahun kedepannya, Indonesia masih saja dijajah oleh nafsu para bedebah yang serakah akan harta.
***
Halo, ini cerpen pertama Fana. Semoga kalian menyukainya.❤️ Dalam cerpen ini, Fana tidak berniat untuk menyinggung pihak manapun. Cerpen ini dibuat agar kita semua tahu bahwa Indonesia tidak pernah baik-baik saja dari kata kecurangan.
Semoga 76 tahun kemerdekaan dapat menyudahi segala aksi kecurangan yang menyengsarakan massa.
Sekali lagi, selamat 76 tahun kemerdekaan, Indonesiaku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Merdeka itu 76 Tahun yang Lalu
Short StoryPak Banu benar. Merdeka itu 76 tahun yang lalu. Karena, hingga 76 tahun kedepannya, Indonesia masih saja dijajah oleh nafsu para bedebah yang serakah akan harta.