Bab 2 : Kanaya Gennadiya

130 9 0
                                    

Kanaya melangkahkan kaki panjangnya menuruni tangga darurat fakultas sembari melihat pemandangan sekitar dari balik jendela besar tangga. Perempuan cantik dengan rambut hitam panjangnya yang terurai itu menghela nafas, kemudian berhenti untuk menguncir rambut panjangnya asal lalu menyeka keringat di wajahnya yang mulai muncul karena berjalan turun lewat tangga darurat dari lantai 5 menuju lantai dasar.

Lift yang ada di gedung fakultasnya benar-benar tidak berguna. Bagaimana bisa rektor kampusnya hanya membangun satu lift untuk gedung fakultasnya sementara gedung fakultas lain memiliki lebih dari satu? Akibatnya banyak antrian menumpuk di depan pintu lift yang mengakibatkan keterlambatan beberapa mahasiswa serta dosen yang mengajar.

Untuk itu Naya lebih memilih naik-turun tangga darurat daripada harus menunggu lift yang selalu penuh sesak setiap harinya itu. Namun terkadang jika dirasa tidak kuat, Naya dengan terpaksa harus bergabung bersama mahasiswa lainnya di depan pintu lift.

Naya kembali menghela nafas sebelum melanjutkan langkahnya. Setelah keluar dari area tangga darurat, perempuan itu berpapasan dengan beberapa teman satu kelasnya yang baru saja keluar dari lift. Ia tersenyum menyapa sebentar teman-temannya lalu berpamitan.

"NAYA!"

Naya menoleh, menghentikan langkahnya melihat Mario—temannya di jurusan Teknik Arsitektur—berlari mendekat. "Eh, Rio? Kenapa, Yo?"

"Udah mau pulang, Nay?" tanya Rio begitu sudah berada di depan Naya.

"Iya,"

"Mau gue antar?" tawar Rio.

"Nggak usah, Yo. Gue naik ojek online aja," tolak Naya.

"Nggak apa-apa. Lagian, 'kan searah."

"Beneran nggak usah, Yo. Gue pulang sendiri aja,"

Rio mengusap tengkuknya canggung. "Ya udah, kalau gitu gue antar sampai gerbang aja, ya?"

Naya mengernyitkan dahinya bingung. "Ngapain? 'Kan gerbangnya deket?"

"Ya ... nggak apa-apa. Hehe,"

Naya mengerjapkan matanya lalu mengangguk ragu. "Mmm, oke."

Rio tersenyum lebar. "Ya udah, ayo!"

Naya kemudian melanjutkan langkah dengan Rio di sampingnya. Tidak ada percakapan diantara keduanya membuat suasana terasa sangat canggung, namun Naya tidak berniat untuk membuka percakapan.

Sejujurnya, Naya tidak mengerti kenapa Rio sampai mau repot-repot mengantarnya sampai gerbang. Mereka bisa dibilang tidak dekat, bahkan hampir tidak pernah mengobrol panjang. Setiap perempuan itu akan pulang, Rio akan muncul entah darimana dan menawarkan diri untuk mengantarnya pulang. Hal ini terjadi hampir setiap hari dan membuat Naya bingung.

"Udah jelas itu mah niatnya mau pedekate sama lo, Nay." Ujar Tarissa—teman satu jurusannya saat Naya menceritakan sikap random Rio akhir-akhir ini.

Naya yang menyender pada tembok toilet sembari melipat lengan menggelengkan kepalanya. "Ah, nggak mungkin, Sa. Lo pasti salah," elaknya. "Siapa tau emang dia baik?"

Tarissa yang tengah mengoles lipcream pada bibirnya langsung memasang raut datar. "Please, deh, Kanaya! Lo, tuh, udah gede. Harusnya tau dong ciri-ciri seseorang kalo lagi tertarik sama lawan jenis itu kayak apa," ia kemudian melotot menatap Naya yang berdiri di belakangnya lewat kaca besar toilet. "Atau jangan-jangan lo nggak tau?"

"Gue tau, ya! Enak aja lo!" Naya membalas cepat lalu mendecak. "Gue cuma nggak mau kepedean. Bisa aja, 'kan dasarnya si Rio emang baik sama semua orang?"

"Gue akuin, sih, si Rio emang baik anaknya. Dia juga nggak neko-neko," Tarissa mengangguk setuju seraya meratakan lipcream di bibirnya dengan tangan. Sebelum Naya sempat membalas, perempuan cantik itu kembali berujar, "Tapi, Nay. Sebaik-sebaiknya Rio ke semua orang, kalo ke cewek yang dia suka pasti beda."

Bro & SisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang