"Makan malam dengan apa?" tanya Lia sebelum Daren masuk ke kamar mandi. Daren tak menjawab.
"Oh ayolah! Kau merajuk? Aku sudah lelah seharian dan aku hanya ingin memasakkan makan malam untukmu."
Daren kembali membuka pintu kamar mandi lantas menatap tajam ke arah Lia. "Kau pikir aku tidak lelah? Kita memilih menikah dan hidup bersama dalam satu rumah tapi di luar seakan-akan tindakanku seperti akan melecehkanmu! Aku tahu kita sepakat untuk tidak membeberkan soal pernikahan ini, Lia. Tapi apa kau tahu bahwa aku memberimu bubuk cabe untuk melawan pra brengsek lain, bukan aku! Apa kau tidak berpikir bagaimana jika mataku terinfeksi?!"
Lelaki itu berbalik lalu menutup pintu kamar mandi dengan cukup keras hingga membuat Lia sedikit berjingkat. "Maaf," gumam gadis itu.
Meski Daren marah Lia tetap memasak makanan untuknya. Lia hanya mengingat bahwa Daren suka bubur ayam ketika sakit. Dan dia mencoba membuat sebisanya. "Kau sedang apa?" tanya Daren sambil mengeringkan rambutnya. Lia tak segera menjawab. Daren menghampirinya. "Kau bisa membuat bubur ayam?"
"Akan kucoba."
"Jangan mencoba merayuku dengan bubur itu! Kau tahu aku mudah memaafkanmu bahkan tanpa imbalan apapun," ucap Daren. Lia berbalik menatap lelaki berambut ikal itu. "Terima kasih. Tapi aku akan tetap mencoba membuat bubur ayam."
Daren tersenyum. "Kau saja lupa tak mengaduknya!"
"Ini hanya sebentar!"
"Tetap saja aku lebih jago memasak daripada kau. Aku akan berganti baju terlebih dahulu lalu mengambil alih dapur."
"Bisakah kau mengambil alih sekarang?"
Daren tersenyum mengejek. "Apa kau ingin memandangi punggungku tanpa baju selama aku memasak?"
"Tidak! Aku gerah dan ingin mandi! Good luck Daren!" Lia membiarkan panci berisi bubur mengepul. Dia bergegas menuju kamar mandi dan Daren mengambil alih dapur.
"Seharusnya aku tetap berakting marah agar dia menyelesaikan masakannya."
"Daren aku dengar ocehanmu!" teriak Lia dari dalam kamar mandi.
"Mandi yang benar atau aku yang akan memandikanmu!"
Daren tak pernah menyesal sedikitpun dengan menyetujui pernikahan dengan Lia di usianya yang menginjak 22 tahun. Dia juga tidak menyesal menyetujui perjanjian bahwa mereka akan bersikap seolah-olah masih berteman seperti biasa ketika di kampus. Yang ia sesali adalah mengijinkan Lia untuk dekat dengan lelaki lain yang akan membahayakan posisinya. Tapi di sisi lain ia yakin bahwa Lia bukan tipe istri yang mudah berkhianat.
"Kau sudah mandi dengan benar Tuan Putri?" Lia mengangguk penuh semangat.
"Sekarang siapa yang lapar? Kau!"
"Yaps! Kau benar. Cepat pakai bajumu!" Lia memberikan kaus berwarna navy kepada Daren.
"Bubur ayam buatanku ternyata selezat buatanmu!" ucap Lia senang.
"Ya tentu saja karena kau menyerahkannya pada ahli bubur!"
"Ayolah kau harus mengakui!" rengek Lia.
"Mengakui bubur ayam hambar buatanmu? Tidak!"
"Apa maksudmu?"
"Kau belum memasukkan bumbu apapun, Nona Lia Wibisana."
"Benarkah?"
"Tentu saja!" Lia mengerucutkan bibirnya.
"Aku gagal lagi. Huft.... kenapa memasak bubur ayam menjadi begitu sulit?" gumam Lia sembari menatap nanar ke arah mangkuk bubur.
"Kau hanya perlu belajar dengan ahlinya. Yaps! Daren Wibisana!" lia memutar bola mata. "Okey baiklah!" ucapnya menyerah.
"Ngomong-ngomong... tumben sekali tidak mempermasalahkan nama Wibisana yang kusebut di belakang namamu." Mendengar itu Lia tersedak.
"Eumm, hanya mengabaikannya saja. Lagipula ini di rumah kan?" Daren menatap penuh selidik. "Daren... makan saja bubur ayammu yang hangat itu. Aku sudah mengaku tidak bisa membuat bubur ayam. Apa kau akan memintaku mengaku bahwa aku baik-baik saja dengan nama Wibisana itu?"
"Iya-iya. Selamat makan malam, Lia."
Jamuan makan malam yang cukup menenangkan bagi keduanya. Karena biasanya mereka makan sendiri-sendiri. Daren yang pulang larut malam karena shift kerjanya atau Lia yang makan malam sembari mengerjakan tugas kuliahnya. "Kau mau nonton?" ajak Daren. Lia mengangguk. Keduanya menyiapkan laptop di ruang tamu dan menonton film bersama. Mereka duduk agak berdekatan sembari memakan pop corn yang dibeli kemarin sore.
Lia mulai menguap. Daren menatapnya sekilas. Ponsel milik Daren berdering. Sebuah panggilan masuk dari kawannya. "Kamu lanjutin aja nontonnya," ucap Daren sebelum berjalan ke kamar untuk menerima panggilan itu. Mata Lia semakin berat, ia menghentikan film itu kemudian mematikan laptop milik Daren. Ia hendak mengetuk kamar Daren untuk mengembalikan laptop akan tetapi suara tawa Daren yang jarang ia dengarkan membuatnya mengurungkan niat. Ia juga ragu karena takut mengganggu privasi Daren dengan kawannya. Lia mengambil stcky note lalu menempelkan di laptop warna Silver itu kemudian menuju kamar yang bersebelahan dengan kamar Daren, kamarnya sendiri.
Sebenarnya setelah melihat film bersama, Lia ingin tidur bersama Daren karena ia merasa bersalah dengan perbuatannya tadi siang. Selain itu ia juga masih menyimpan rasa takutnya akibat penampakan tadi malam, tapi mau tidak mau ia harus tidur di kamarnya. "Sudah pukul sebelas malam dan aku besok harus bekerja. Tapi kenapa mata ini masih terbuka?" dumel Lia. "Biasanya Daren datang untuk mengancamku dan aku tertidur tapi dia sedang sibuk dengan dunianya. Aku harus bisa tidur." Tutup mata, buka mata. Itu yang dilakukan Lia hingga jam dinding bermotif burung hantu menunjuk angka 12.
Daren keluar dari kamarnya. Ia melihat pesan yang tertulis di sticky note itu. "Terima kasih film malam ini. Maaf aku tidak menyelesaikannya karena harus segera tidur soalnya besok aku ada sift pagi. Have a nice dream, Daren!"
KAMU SEDANG MEMBACA
DaLia
RomanceSetiap keputusan memiliki alasan. Keputusan juga memiliki resiko yang harus ditanggung. Seseorang harus benar-benar siap dengan segala hal yang akan timbul di balik sebuah keputusan. Dan Daren tidak paham dengan segala konsekuensi yang akan ia terim...