1. Filosofi

17 4 0
                                    

Sebelum baca klik dulu
Bintangnya
🌟🌟🌟

Tengkyuuuu buat yang udah VOTE
😘😘😘😘😘

1. Filosofi

Pagi, sunyi, dingin.

Masih sangat pagi, belum ada semburat matahari muncul di kejauhan horizon cakrawala. Gelap, satu kata yang pantas menggambarkan situasi saat ini.

Beranjak dari tempat tidur yang membuat siapapun terlena akan kenyamanan yang dihadirkan adalah sebuah perjuangan bagi Aretha. Memaksa mata terbuka lebar untuk menyambut lembaran-lembaran baru yang telah menantinya. Berselimutkan cardigan coklat beige, berjalan kaki menelusuri setiap sudut jalanan untuk sebuah sumber energi yang siap menguatkan fisiknya untuk beraktivitas. Mencari makanan terbaik untuk santapan dirinya juga si kembar Azka dan Azkiya pada pagi ini.

Berjalan pagi-pagi sendirian dikala sorot lampu masih menerangi jalan adalah hal asing bagi Aretha tiga tahun lalu. Tak pernah sekalipun dirinya melakukan hal ini kecuali mendesak. Tapi kini tak lagi sama, dia harus melakukannya meski teriak mengatakan tidak mau. Perempuan yang dahulu bahunya mudah rapuh seperti bambu, saat ini telah terlatih hingga bahunya sekuat baja. Bukan perjuangan instan yang menyertainya meniti jalan ini Tapi perjuangan yang diiringi tamparan sadis dan tangis.

Namanya selama tiga tahun ini berada diurutan pertama dalam kartu keluarga. Siapa sangka meski umurnya baru 21 tahun bebannya sudah teramat berat dan menyayat hati. Ketika realita menampar keras dirinya, dia hampir gila karena tak kuasa atas musibah yang menimpa. Rasanya seperti dia sedang terbang di atas langit lalu dipatahkan sayapnya hingga jatuh ke permukaan bumi.

"Masih hidup nggak Azkaaa Azkiyaaa..." Teriaknya kencang dengan jinjingan tas belanjaan di tangannya.

"Masiihhh..."

Azka beranjak dari tempat tidur dengan berjalan tertatih-tatih berusaha menghampiri.

Tek tek tek tek.. Hantaman pisau yang mengiris bawang.

"Azkiya mana?"

"Dia masih di pulau kapuk." Jawab Azka dengan suara serak khas orang bangun tidur.

"Bangunin dong, kalau nggak mau bangun nggak ada uang jajan seminggu." Ancam Aretha dengan serius.

"Oke, oke aku bangunin dia"

Azka yang masih ngantuk langsung tersadar.

Aretha Aesparinggaha sang kakak sulung yang bila ada setiap mata yang memandang padanya pasti tak berkedip. Gadis itu dianugerahi mata, hidung, alis, pipi, bibir yang sepadan dengan wajahnya. Tak  hanya secara fisik hampir sempurna, dia juga memiliki nilai plus sebagai seorang kakak, ketegasannya dalam setiap hal berhasil memberikan perubahan terhadap si kembar.

Tok tok tok...

"Bangun tukang molor." Ucap Azka ngegas.

"Ahhh nyebelin, aku lagi mimpi menang turnamen voli tingkat Internasional, dikit lagi megang piala juara malah di bangunin." Jawab Azkiya sang kembaran dengan kesal sambil merengek.

"Ya bagus dong, biar kamu sadar kalau itu cuman mimpi, dan nggak akan bisa diraih kalau kamu cuman berbaring di atas tempat tidur." Jelas Azka dengan nada mengejek.

Azkiya diam membisu dengan menggertak kan giginya.

"Udah cepet bangun, entar nggak dikasih uang jajan seminggu kata kak Aretha."

"Ancaman di pagi hari sungguh cukup membuatku tersadar." Sahut Azkiya sinis.

Menjadi yatim piatu bukanlah keinginan setiap orang. Tiga tahun berlalu dilalui dengan goresan luka. Siapa sangka kecelakaan mobil tragis adalah jalan kematian orang tua mereka. Inilah yang menjadi tamparan keras bagi mereka. Sungguh, luka itu masih tersemat hingga saat ini. Mereka seperti berada di dalam jurang yang harus keluar dengan mendaki. Menerima sebuah takdir yang telah tertulis di Lauhul Mahfudz. Meski rasanya cukup menyakitkan. Mereka dipaksa kuat meski berat, dipaksa lapang meski hati terguncang, dipaksa kokoh meski ingin roboh, dipaksa tabah meski ingin menyerah.

UNKNOWNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang