2

17 1 0
                                        

"With mirth and laughter, let old wrinkles come."

- William Shakespeare -


Berjalan di samping Sam bikin aku merasa kerdil. Jalan dengan sesama orang Asia aja, aku sering dianggap paling pendek, apalagi sama cowok Eropa.

Aku lebih suka kami duduk seperti di perpustakaan tadi, bukannya berjalan menyusuri jalan utama kampus.

Kami bertemu para mahasiswa lain yang menatap kami seolah kami pertunjukan sirkus keliling. Kakek berambut kelabu yang membawa garu taman, berdiri di bawah pohon terbesar di halaman depan kampus, memelototi kami sampai kepalanya berputar waktu kami melintas di dekatnya.

Sesekali, tanpa sengaja, lenganku bersenggolan dengan Sam, meski itu cuma terjadi di setiap tikungan ketika aku tidak tahu apakah harus berjalan di sisi luar atau di sisi dalam. Selebihnya, Sam menjaga jaraknya dariku dengan sopan.

Sepertinya orang-orang mengira kami pasangan baru yang masih ragu apakah harus bergandengan tangan atau belum saatnya. Dan yang jelas, kami kelihatan aneh. Warna kulit kami jelas kontras. Dia putih pucat, sementara kulitku cenderung sawo matang. Beberapa teman kampusku bilang aku eksotis, padahal di Jakarta, justru cewek-cewek berkulit putih mulus oriental yang biasa jadi pusat perhatian.

Sam jangkung dengan bentuk muka persegi dan rahang tinggi dengan sudut-sudut yang mirip pahatan, sementara aku pendek dan wajahku bulat---tanpa sudut. Pipi tembamku memerah lagi karena menyadari tatapan orang-orang yang kami lewati.

"Boleh aku tanya sesuatu?" kata Sam, begitu kami melewati gerbang kampus dan menyusuri trotoar.

Aku mengangguk dan menunggu Sam bicara. Dia tampak ragu menyusun kalimat dalam kepalanya. Ada jeda cukup lama yang diselingi peristiwa aku tersandung batu pendek pembatas antara trotoar dengan jalan raya. Sam dengan sigap mencengkeram lenganku, menahan tubuhku sampai kembali seimbang. Cengkeraman yang lama dan ditopang dengan sentuhan tubuhnya lagi di punggungku---tangan khayalanku langsung mengipasi mukaku yang kembali menghangat.

Sambil menjauhkan diri dan berlagak nggak terjadi apa-apa, aku berdeham pelan. "Tadi kau mau tanya apa, Sam?" tanyaku, mengalihkan topik dari peristiwa memalukan barusan.

Dia juga kembali berjalan di sampingku dengan ringan."Sebenarnya yang mau kutanyakan lebih dari satu. Apakah masih boleh?" ujarnya.

"Tanya saja. Kita punya, setidaknya, lima belas menit sampai kita sampai di stan penjual ikan herring dekat asrama yang kaumaksud."

Sam tersenyum. "Hm, baiklah. Pertanyaan pertama, apakah kau dari Filipina?"

Aku menggeleng. "Sepertinya banyak orang Eropa yang menganggap postur orang Indonesia mirip orang Filipina. Aku sering sekali mendapat pertanyaan yang sama sejak menginjakkan kaki di sini."

"Ah, jadi kau dari Indonesia. Apa kau bisa menebak asal negaraku?"

Aku menoleh ke arah Sam. Sambil berjalan, aku mengamati wajahnya, posturnya, dan mencoba mengenali logat bahasa Inggris-nya. "Aku menebak kau dari German."

Sam tertawa geli. "Apakah semudah itu? Kupikir untuk orang Asia, semua orang Eropa sama saja," katanya.

"Hmm... aku mengenalimu dari logat bahasa Inggris-mu, Sam. Tetangga kamar asramaku juga ada yang dari German. Dan kuperhatikan logatmu mirip seperti dia. Kau mengubah 'w' menjadi 'v'. 'One' kaubilang 'van'. Dan kalau kusimak baik-baik, setiap ada vowel 'i', kau mengucapkannya dengan nada yang naik dan lebih panjang. Lalu... di vowel 'o'... kau seolah mengatakan 'aw'. Dan---"

"Oke, oke. Kau boleh juga," komentar Sam, masih tersenyum geli.

Berjalan dan mengobrol bersama Sam cukup menyenangkan. Aku suka.

Awalnya cuma obrolan basa-basi, lalu begitu sampai di stan penjual nieuwe haring, Sam mulai berhasil membuatku geli dengan beberapa leluconnya. Kecuali lelucon tentang bahasa German, yang malah membuatku mengernyit karena nggak ngerti. Dan beberapa kali dia malah bikin aku pusing dengan obrolannya soal sepakbola.

Sebenarnya aku kurang suka dengan seafood karena baunya yang amis. Tapi Sam memaksaku memakan nieuwe haring, dan dengan cara tradisional yang dianjurkan si penjual pula. Kepala didongakkan, pegang buntut ikannya, dan masukkan ikan harring yang sedikit panjang itu langsung ke mulut.

"This one is for you, Sam... Happy birthday to you..." ujarku, masih mengernyit. Saat memakannya, aku menahan napas sampai satu ikan di tanganku itu habis. Sam menatapku geli. Aku pasti kelihatan seperti penguin yang berusaha menelan bulat-bulat ikan tangkapannya.

Aku bahkan tidak mau terlalu lama menahan ikan itu di lidahku. Aku juga tidak mau memikirkan seperti apa rasanya. Pokoknya langsung kutelan saja. Lagi pula, menelan ikan utuh sekaligus, aku keburu takut tersedak.

Dan begitu ikan di piring kami habis, aku celingukan ke pedagang lain di sepanjang jalan itu, berharap salah satu ada yang menjual minuman.

Sam, masih sambil tertawa, menepuk bahuku pelan dan menyuruhku menunggu sejenak sementara dia pergi membeli minuman. Hanya beberapa meter dari situ, dan dia segera kembali, hanya membawa satu botol sari apel.

Aku langsung merebut botol itu darinya setelah dia bukakan segelnya, dan langsung kutenggak hingga separo.

"Astaga, apa yang kupikirkan? Memakan semua ikan itu untuk orang yang baru kukenal hanya karena dia berulang tahun?"

Sam tertawa lagi, kali ini tawanya lebih kalem. "Dan hari ini bahkan bukan benar-benar hari ulang tahunku," ujarnya dengan santai.

Cengkeramanku di botol mulai mengetat. Istilah "if looks could kill" mungkin saat ini sedang kuhunuskan pada Sam. Dengan kesal, aku menyurukkan tanganku yang masih menggenggam botol ke arahnya. Dia nggak menghindar, tapi dia malah menerima botol itu, mengambilnya dariku, dan gantian menenggak habis isinya.

Aku terpana melihat kelakuannya. Boys will be boys, huh?

My lips was there on the lid... and now the lid was on his lips? Para remaja dengan hormon tidak seimbang pasti langsung menuduh itu sebagai ciuman tidak langsung.

Tapi usiaku hampir tiga puluh tahun, nggak seharusnya aku memercayai omong kosong itu lagi, kan?

Tetap saja, aku makin membelalak melihat kelakuannya. Dan sepertinya bibirku terasa agak berkedut menatap Sam meminum langsung dari botolku.

Bibirnya yang penuh dan tampak empuk, seperti bantalan lembut.

Duh, duh, duh, aku menggeleng-geleng.

Ini pasti cuma sugesti.

Aku mencoba mengabaikan imajinasiku yang mulai berkeliaran.

It was definitely nothing.

Ingat, Dee, he's just a stranger, toh belum tentu kami akan bertemu lagi setelah hari ini. Let's just... let him do what he wants.

***

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 12, 2021 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

To Kiss A StrangerWhere stories live. Discover now