Awan perlahan menghitam, dan suhu udara perlahan ikut mendingin. Hal yang bisa dibilang kondisi cuaca pada sore kali ini. Satu demi satu percikan air telah mengenai permukaan tangan laki-laki bertubuh tinggi yang sedang berjalan menenteng sebuah paperbag coklat berisikan seragam olah raga bekas dipakai pagi hari tadi di genggaman tangan kirinya. Laki-laki itu berhenti sejenak, tepat ditengah lapangan sekolah yang mulai sepi. Tangan kanannya yang awalnya berada di dalam saku almamater yang ia kenakan, otomatis dikeluarkan membentuk cekungan untuk memastikan apakah benar hujan atau tidak.
"Yaaah, kenapa hujan sekarang?." Gumam lelaki itu dengan ruaut wajah sedih.
Dia melanjutkan langkahnya keluar dari pekarangan sekolah, menuju parkiran yang terletak tak jauh dari area sekolahan. Hanya tersisa lima sepeda yang masih tertata rapi disana, dirinya dan empat pemilik sepeda lainnya. Ia segera mengayuh sepeda gunungnya dengan kencang, menembus guyuran air di jalanan yang perlahan mulai penuh genangan. Laki-laki itu berharap agar hujan tak mengguyur lebih deras, sebab belum sampai rumah yang ia tinggali. Namun Tuhan berkehendak lain, hujan semakin deras mengguyur jalanan Kota Pahlawan saat ini. Beberapa pengendara motor berhenti disisi jalan untuk menunggu langit kembali cerah seperti kala tadi.
Laki-laki itu memutuskan berhenti di salah satu warung yang berada di pinggir jalanan yang kerap kali dilewatinya selama ini. Warung sederhana dengan spanduk terpasang jelas bergambarkan salah satu merk kopi Indonesia dengan wajah artis berwarganegara Hongkong yang mulai usang terkikis waktu. Hujan semakin deras, air jatuh ke tanah tanpa celah sedikitpun. Badannya gemetar setiap hujan deras terjadi, ditambah suara petir yang menggelegar hebat menambah ketakutannya. Mata dan Hidungnya memerah menahan air mata yang ingin ia jatuhkan saat itu juga, namun ia mengurungkannya.
"Jidan?, eh beneran Jidan apa bukan sih?." Bi Joya, wanita paruh baya pemilik warung yang lelaki itu singgahi sementara, datang menghampiri dirinya yang sedang meringkuh ketakutan.
Ia yang baru saja dipanggil Jidan, menganggukkan kepalanya dengan badan yang masih gemetar. Tanpa berpikir panjang, Bi Joya segera merengkuh tubuh jakung Jidan kedalam dekapannya, seperti seorang ibu yang merengkuh tubuh putra atau putrinya di saat mereka butuh dekapan hangat.
"Jangan khawatir, disini ada Bi Joya yang temani Jidan." Tangan kanannya telaten mengusap rambut hitam kecoklatan Jidan dengan lembut.
Bi Joya, perlahan mengenal Jidan. Jidan anak laki-laki rapuh yang bisa terbilang sering datang ke warungnya yang sederhana hanya untuk sekedar bercerita kepadanya ketika laki-laki itu butuh teman untuk mendengarkan keluh kesahnya. Tentang apa yang terjadi dirumahnya atau disekolahnya. Bi Joya selalu mendengarkannya. Terkadang Jidan juga membawa teman yang tanggal, bulan bahkan tahun lahirnya sama dengannya, Theo, ke warung Bi Joya. Pemuda tersebut langsung teringat reaksi temannya saat ia bawa ke warung saat itu.
"Hah? warung apaan ini Dan?." Ucap Theo tak menyangka.
"Serius deh Dan, gue baru tau ada warung sekecil ini." Lanjut Theo dengan tatapan tak menyangka dan mulut yang masih menganga. Jidan tak mengurbis omongan Theo, teman seumurannya memang banyak omongnya ketika bersama Jidan. Akan tetapi, Theo sangat perndiam ketika ia berada disekolah. Jidan Terheran.
Lima menit berlalu dengan cepat. Hujan deras masih mengguyur sore itu. Entah kapan seleseinya, Jidan tidak tau menau tentang hal itu. Bi Joya melepaskan dekapan secara perlahan. Udara dingin menerobos dengan cepat di antara mereka berdua. Tubuh Jidan kembali menggigil sebab kedinginan, meskipun lima menit yang lalu wanita paruh baya yang mungkin telah dianggapnya ibu sekaligus sahabat memeluknya dengan hangat. Kedua tangan Bi Joya menangkup wajah tampan Jidan. Hidungnya masih terlihat semburat warna merah khas seperti orang sedang menangis. Lelaki itu tak bisa lagi menahan bendungan air disaat wanita itu merenkuhnya. Menumpahkan keluh kesahnya yang sudah lama ia bendung sendirian sekian lama.
"Jidan mau susu hangat apa teh hangat?." Tanya Bi Joya lembut.
"Teh hangat aja Bi." Jawab lirih Jidan. Punggung tangannya sibuk mengusap usap hidungnya yang memerah seketika berhenti.
"IBU, ibu ada dimana sih? ini ada telepon masuk dari tante Airin!!!!."
Gadis perempuan yang memakai atasan kaos putih serta celana training keluar dari dalam warung Bi Joya dengan wajah kecut. Di tangan kanannya memegang ponsel yang masih terdengar lagu 'Red Flavor' sebagai nada dering ponsel itu.
"Wih siapa dia, kok sama ibu?."
Gumam dia dalam hati. Gadis itu terheran, ketika melihat seorang anak laki-laki dengan wajah menangis bersama ibunya. Ralat, ibu angkatnya maksud gadis itu. Ia sempat berpikir, jika laki-laki itu meminta pertanggung jawaban atas kelakuhan yang ibunya perbuat. Eh bukannya kebalik ya, yang menangis? Gadis itu tersadar dari lamunannya. Lalu ia terkekeh, mengingat pikirannya yang random tadi.
"Ngapain si Airin telefon sih? Mau ngutang lagi ya?."
Bi Joya terdengar mengomel sembari menyentuh tombol hijau yang ada di layar ponselnya untuk menerima panggilan. Ia memutuskan masuk ke dalam warung untuk menjawab panggilan telfonnya dari Airin yang dituduh akan mengutang. Padahal memang iya, Airin menelfon Joya untuk meminta mengirimkan garam ke kediamannya dan dibayar jika Airin mengingatnya. Meninggalkan dua remaja yang lagi sibuk dengan jalan pikirannya masing-masing.
"Lah, siapa dia? Haduh, gak elit banget, mana gue habis nangis lagi." Batin Jidan dalam hati.
Pikirannya masih bergelut tentang gadis yang lagi asik bermain air yang jatuh dari atas genting. Tepat saat itu, lagu Bruno Mars terputar. Gadis itu mengangguk-anggukan kepalanya dan bernyanyi kecil mengukuti irama lagu 'It Will Rain' milik penyanyi barat Bruno Mars yang berasal dari dalam warung Bi Joya yang terputar seara acak. Gadis itu mendekati Jidan, lalu duduk di ruang kosong yang tersisa pada kursi bambu yang sama Jidan duduki. Masa bodo jika Jidan menganggapnya sok akrab. Ia ingin menemaninya sembari menunggu ibunya kembali dan membawakan teh hangat kepada remaja laku-laki disebelahnya.
"Namamu Jidan?." Jidan menganggukan kepalanya.
"Nama lo siapa, dan lo siapanya Bi Joya?." Dua pertanyaan lolos dari bibir pucat Jidan.
"Wony, Celia Wony Agata." Jawab gadis itu lalu tersenyum simpul.
"Anak angkat ibu Joya, baru 5 bulan yang lalu sih." Lanjutnya sambil terkekeh.
Jidan tertegun. Pasalnya, setiap ia datang ke warung sederhana itu, tak ada orang yang tinggal disitu kecuali Bi Joya selaku tuan rumahnya.
"Selama gue kesini, kok gak pernah keliat-"
"Jidan, ini teh hangatnya."
Bi Joya memotong pertanyaan Jidan dan memberikan cangkir bergambar kartun moomin berisikan teh hangat di dalamnya.
Hujan perlahan mulai mereda, pengendara motor mulai menjalankan motornya sebelum hujan kembali terjadi. Jidan yang melihatnya pun, buru-buru menghabiskan satu cangkir teh hangat dan menyisahkan sedikit teh sebab ada daun-daun teh didasar cangkir.
"Bi Joya, Jidan pulang dulu!! Wony sampai ketemu lagi!!." Teriaknya menjauh dan memberdirikan sepedanya yang nyaris jatuh ke dalam selokan.
"HATI-HATI!!!!." Balas dua wanita di pelataran warungnya.
Jidan mengayuh sepedanya dengan wajah sumringah. Ia melemparkan senyuman hangat kepada setiap orang yang dilewatinya. Hujan yang terjadi pada sore hari ini ditambah lagu 'It Will Rain' milik Bruno Mars menjadi saksi awal pertemuan Jidan dan Wony di Kota Pahlawan.
[Bersambung]
KAMU SEDANG MEMBACA
Kalopsia
Teen FictionKisah klasik kedua remaja yang dipertemukan disaat hujan sore terjadi di Kota Pahlawan, ditemani secangkir teh hangat bergambar kartun moomin serta iringan lagu 'It Will Rain' milik Bruno Mars yang terputar sebagai saksi. Namun lama - kelamaan, mala...