2. A hug from beloved one

17 2 1
                                    

"Kamu benar-benar menganggapku orang baik?"

Zavi mengayun-ayunkan kakinya, menendang air yang mengalir di permukaan jalan di bawahnya, "Bagiku, Selatan tampak seperti orang yang tersesat dan tersakiti. Bukankah manusia itu cenderung menyakiti manusia lain saat dirinya sedang tidak baik-baik saja?"

"Aku meninggalkanmu, Za."

"Ya, dan aku tak pernah pergi,"

Kalau ditanya apa perasaan Selatan saat ini, jawabannya adalah perasaan bersalah. "Yah, itu tidak penting, toh, kita teman kan?"

Selatan mengangguk. Pandangannya yang menunduk tak sengaja jatuh ke kaki Zavi, "Omong-omong, kenapa kamu nyeker?"

Zavi pun ikut melihat kakinya, "Oh, lupa. Sedang buru-buru, Habis melayat." Ah, dadanya sakit lagi mengingatnya. Murung raut wajahnya. Rupanya itu yang menjadikan sendu di wajahnya, Selatan baru menyadari itu.

"Menangislah, tidak baik dipendam."

Ucapan Selatan tentang ia yang tidak lagi menyukai Zavi itu tak sepenuhnya benar. Akan ada sisa cinta untuk orang-orang yang kau tinggalkan. Apalagi jika orang itu pernah jadi yang berharga. Puncak kepala Zavi dielus lembut. Pupil mata Zavi melebar, sedikit kaget dengan perlakuan Selatan. Itu membuatnya semakin sedih, "Selatan, apa aku boleh peluk?"

Giliran Selatan yang kaget, dihidupnya ia hanya pernah memeluk satu wanita, itu pun ibunya. Pacar? Tidak punya dan tidak pernah pacaran. Sewaktu ia dan Zavi bersama pun ia tidak berani memeluknya.

"Hah?"

"Tak apa kalau tidak boleh."

Ragu-ragu Selatan melemahkan bentengnya. Tangannya terbuka, siap untuk menampung badan gadis mungil yang tengah dilanda nelangsa. Zavi memajukan badannya, layaknya magnet yang ditarik dan Selatan yang menarik.

Hangat, Zavi ingin tinggal disini saja selamanya di pelukan Selatan. Ia ingin waktu berhenti saja. Sejujurnya tubuh Selatan mendadak kaku saat badan mereka bersentuhan. Sensasi apa yang ia rasakan ini? ia tak tau kalau berpelukan bisa semenenangkan ini.

Di luar memang dingin, tetapi hati mereka hangat. Zavi memeluk pundak Selatan dengan erat. Selatan membalas pelukannya sembari mengusap kepalanya. Tenggelam Zavi dalam rengkuhan Selatan, bisa ia dengar detak jantung lelaki itu memburu, berbunyi lebih keras dari yang seharusnya, sama seperti dirinya.

Ah, ujung-ujungnya Zavi menangis juga. Ia memang sedih karena kematian sepupunya, tetapi kerinduan yang selama ini terpendam lebih membuatnya merasa sedih. Selama sepuluh tahun lamanya ia hidup dalam bayang-banyang Selatan. Ia hadir dalam momen-momen penting di hidup Selatan tanpa Selatan sadari. Menyaksikan Selatan tumbuh besar meski dari jauh. Duduk santai bersama teman Selatan, bertanya bagaimana kabarnya, apakah terjadi sesuatu? Apakah dia pernah sakit? Atau apakah ia punya perempuan yang ia sukai? Semua itu ia lakukan karena ia mencintai Selatan lebih dari ia mencintai dirinya sendiri.

Tangisnya mereda bersamaan dengan air hujan. Awan-awan hitam perlahan menghilang, menyisakan rintik-rintik kecil. Selatan memutuskan pelukan mereka, ia takut khilaf. Zavi mudah untuk diculik. Tunggu, kenapa pula ia ingin menculik Zavi? mereka tidak lebih dari sekedar teman sekarang. Jika saja Ibu Selatan tau, tamat riwayatnya saat itu juga.

"Ayo, kuantar Selatan pulang ke rumah."

Selatan mengulurkan tangannya ke depan, membiarkan air hujan yang turun dari atap halte mengenai telapak tangannya,"Naik apa?"

Zavi menunjuk mobilnya, "Naik itu."

Raut wajah Selatan masam, "Kenapa tidak bilang daritadi?"

Ia segera berdiri, berjalan menerobos gerimis, "Ayo!"

To My SouthTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang