Bab 1

10 3 0
                                    

Angin berderu lumayan kencang. Langit senja tertutup awan hitam, yang menampung ribuan kubik air, dan siap tertumpah. Aku masih melajukan citycar menyusuri jalan menuju komplek perumahan tempat tinggalku. Gerbang komplek sudah tampak di depan mata ketika kilat menyambar jalanan di samping kiri mobilku. Aku terlonjak kaget karenanya. Hampir saja aku menabrak pembatas jalan karena kemudi hilang kendali beberapa saat.

Pohon akasia tumbang di badan jalan, melintang sampai lajur kanan. Bersyukur tidak ada korban jiwa dalam peristiwa tersebut. Beberapa orang berusaha menyingkirkan batang pohon yang menghalangi jalan. Namun karena besarnya pohon usaha mereka tidak berhasil.

Seorang lelaki dengan kondisi basah kuyup karena hujan yang tiba-tiba mengguyur bumi, mendekat kearah mobilku. Tangannya mengisaratkan untuk memutar arah. Jalan ini tidak bisa dilewati. Aku menatap takjup pada sosok lelaki tersebut. Rambut kecoklatan khas orang bule. Wajah rupawan. Manik mata sebiru samudera mampu menghipnotis diri ini.

Suara ketukan di kaca mobil membuatku tersadar. Memberanikan diri membuka kaca untuk sekedar mengucapkan terima kasih itu yang ku lakukan. Ku serahkan jas hujan yang mungkn terlambat tapi paling tidak bisa melindungi kepalanya dari hujaman air langit.

Senyumnya mengembang sambil menerima jan hujan berwarna biru. Bibir sexinya mengisyaratkan ucapan terima kasih. Gegas aku mengangguk lalu menutup kaca jendela dan putar arah untuk mengambil jalan lain menuju rumah. Menang agak jauh jika melewati jalan memutar tersebut. Mau  bagaimana lagi, dari pada terjebak lama di tempat tadi menunggu pohon tumbang bisa disingkirkan.

Sudah hampir tiga puluh menit aku melajukan mobil hadiah ulang tahun dari Bapak juga Mas Yuda, tapi kenapa belum sampai juga. Gerbang komplek saja belum kelihatan. Bahkan rasanya jalanan ini terasa sangat sepi. Hanya satu dua pegguna jalan yang melintas. Jalanan di depan sana terlihat panjang tanpa ujung, padahal jalan ini tembus pada tempat pohon yang tumbang tadi.

Masih dengan memicingkan mata, sambil memperhatikan sekeliling dengan penuh keheranan, atas keanehan yang sedang aku alami. Hati semakin yakin kalau ini bukan duniaku. Aku lupa sejak di mana mengalami perubahan alam, seharusnya di situ gerbang untuk bisa keluar. Tanpa membuang waktu segera kuputar arah mobil, kembali kearah datangku tadi.

Semakin lama jalan mobilku terasa melambat. Ban mobil terasa seperti ada yang menarik dari arah belakang. Sudah dapat dipastikan ini bukan hal wajar. Dalam hati aku mulai merapal doa dan ayat kursi. Tidak lama ada kilat menyambar di depan mobilku. Bagai dejavu dengan kejadian sebelum pohon tumbang tadi. Asap terlihat mengepul di tempat petir menyambar baru saja.

Bau anyir menyapa penciumanku. Dalam posisi siaga aku mengarahkan pandangan berkeliling. Tidak lama sayup terdengar tangis, mungkin suara wanita atau anak kecil belum terlalu jelas. Aku yakin itu bukan manunis, tapi rasa penasaran membuat jemariku membuak pintu mobil. Kakiku melangkah kearah sumber suara. Semakin dekat dengan suara tangis itu bau anyir semakin menyengat.

Batu berukuran besar nangkring di pinggir jalanan yang biasa ramai lalu lalang, tentu hal yang aneh. Semakin yakin bahwa ini bukan alamku. Mempercepat langkat menuju suara tangis di balik batu besar, supaya lekas keluar dari dunia arwah ini. Ya, aku memang seorang indigo. Keistimewaan itu merupakan bawaan sejak aku lahir.

Namaku Jovanka Lovata Wijaya. Dua bulan yang lalu baru saja diwisuda. Sebagai orang dengan indigo bawaan tentu ada sisi positif dan negatif untuk diriku. Masih terkam kuat dalam ingatanku untuk pertama kali melihat makhluk absral ketika berumur tiga tahun. Waktu itu Ibu mengajak aku berkunjung ke rumah tetangga yang baru pindah.

Rumah kuno dengan gaya kolonial sangat kental itu memang sudah lama kosong. Walaupun tidak berpenghuni bangunan tinggi bercat putih gading tersebut sangat terawat, sama sekali tidak tampak keangkerannya. Namun begitu aku masuk kedalam ruang tamu rupanya ada satu keluarga lain yang tinggal di situ.

Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan dua anak perempuan. Kesemuanya memakai pakaian model Eropa kuno. Wajah mereka sangat rupawan seperti pangeran dan putri yang di buku dongeng milikku. Anak yang terkecil tersenyum dan melambai padaku. Ibu juga pemilik rumah agak terkejut saat aku melambaikan tangan kearah pintu penghubung antara ruang tamu dan ruang tengah.

"Jo, ada apa?" tanya Ibu sambil menatapku heran.

"Di situ ada orang, Bu. Dua anak kecil sama Bapak dan Ibunya," jawabku lugu, masih dengan senyum mengembang pada anak kecil yang mungki seusiaku.

Semenjak saat itu aku selalu melihat makhluk tak kasat mata. Kalau tampilan mereka seperti manusia biasa aku cukup tenang menanggapinya, walau hanya aku yang bisa melihat tidak dengan orang lain. Tapi jika yang muncul dengan wajah mengerikan, penuh darah, sampai bagian tubuh tidak utuh jelas membuat diriku histeris dan ketakutan.

Hal ini membuat Bapak dan Ibu khawatir dengan keadaanku. Hingga seorang kyai yang merupakan pengasuh pondok pesantren tempat Bapak dulu menimba ilmu mengatakan kalau aku mempunyai indra keenam, atau yang lebih sering disebut indigo. Kyai Zainal mengatakan kalau indigo tidak bisa disembuhkan. Namun kelak jika aku sudah dewasa harus mampu mengendalikannya. Indigo dioandang dari segi agama merupakan gangguan jin juga. Bisa tidak bisa harus dilawan.

Lama kelamaan aku terbiasa dengan kelebihanku ini. Banyak yang bertanya apa aku tidak takut jika melihat arwah gentayangan juga makhluk-makhluk tak kasat mata tersebut. Jujur pada awalnya juga takut dengan kemunculan mereka yang tiba-tiba. Terlebih jika malam hari dengan wajah menyeramkan atau berlumur darah. Bersyukur rasa takut dengan mudah aku kendalikan.

Pernah ketika saat SMP aku hampir kerasukan setan penunggu rumah kosong yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Hampir setiap hari sosok wanita berambut panjang dengan mata merah menyala itu mengawasiku dari balik jendela lantai dua. Wajah bengis dengan sorot mata bermusuhan sangat kental ditujukan padaku.  Entah ada permasalah apa hingga Tante Jahat, begitu aku memanggilnya terlihat sangat membenciku.

Hari kamis, di sekolah ada tambahan pelajaran matematika mendadak. Pulang juga sudah sore. Bersama beberapa teman, aku berjalan kaki pulang sekolah. Jarak rumah dengan sekolah memang tidak jauh, hanya sekitar 500 meter. Setelah melewati beberapa gang, akhirnya tinggal aku dan Fitri. Teman sebangkuku ini lumayan penakut.

Rumah kosong tempat Tante Jahat tinggal sudah kelihatan. Fitri merapatkan barannya ketubuhku. Tangnnya melingkar kuat pada lenganku. Terkadang merasa heran saja, kenapa harus takut dengan makhluk yang derajatnya saja lebih rendah dari kita. Hati ini tergelitik ingin menggoda temanku sejak kecil ini, tapi aku urungkan saat melihat sosok yang begitu memusuhiku berdiri tak jauh di hadapanku, sepertinya sengaja menunggu.

Beesambung

Guardian ShadowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang