SEPULUH

347 11 0
                                    

Riardan menghubungi kantornya, untuk mengajukan ijin hari ini. Dia tidak akan datang ke kantor. Riardan juga meminta Leen, untuk menjadwalkan ulang setiap pertemuan yang harusnya dia lakukan hari ini.

Riardan dan si kembar sarapan dengan makanan yang sudah di siapkan oleh Lena. Makanan sederhana tapi menyehatkan.

"Ayo berangkat. Mama sudah menunggu."

"Kita akan bertemu Mama?"

"Iya sayang. Kita akan mendatangi Mama, dan memberinya kejutan. Tante Lena juga pergi bersama kita."

Cellin dan Celena, bergegas memakai sepatunya. Mereka tampak bahagia. Riardan tersenyum melihatnya.

Lena tersenyum dalam diam. Jujur, dia juga merindukan majikan yang sudah seperti kakak untuknya itu. Lena juga ikut bergegas, dia membantu Cellin dan Celena mengenakan sepatu, dia telah menyiapkan makanan untuk Dylofa juga. Riardan yang memintanya.

***

Mobil berhenti di halaman sebuah rumah sakit. Lena menoleh menatap Riardan. Riardan sadar dengan tatapan Lena yang meminta penjelasan. "Kau ingin bertanya?"

Lena mengangguk pelan. "Kenapa ke Rumah Sakit, Tuan?"

"Karena dia di sini."

Lena mengerutkan alis. "Dia? Nyonya?"

Riardan mengangguk singkat. Dia keluar lalu membuka pintu belakang. "Ayo sayang."

Lena iku menyusul, dan membuka pintu satunya.

Cellin dan Celena menggandeng tangan Lena kiri dan Kanan, sementara Riardan berjalan pelan di depan nya. Melewati koridor panjang. Riardan menggendong Cellin, dan Celena dalam gendongan Lena. Si kecil mulai lelah berjalan sendiri.

Mereka berhenti di depan sebuah taman. Riardan berbalik. "Bisa kau temani mereka bermain dulu?"

Lena mengerutkan alis, dia mengangguk pelan.

Riardan tersenyum. Dia menurunkan Cellin dari gendongannya. "Cantiknya Papa, main di sini sama Tante Lena ya? Papa cari Mama sebentar."

Cellin dan Celena mengangguk. "Iya, Pa." Mereka menjawab secara bersamaan.

Riardan pergi menjauh, sambil melambaikan tangannya pada Cellin dan Celena.

Riardan berjalan menuju ruangan Amel. Dia di sambut dengan perawat. "Dokter Amel di ruangannya?"

"Anda Tuan Riardan?"

"Iya."

"Silahkan Tuan. Dokter sudah menunggu." Perawat itu membukakan pintu. Dan Riardan masuk.

"Mel."

"Hai, Dan." Amel mengangkat wajahnya sesaat. "Sebentar ya?"

Riardan mengangguk pelan. Dia menunggu dalam beberapa menit, hingga Amel kembali menatapnya. "Kita langsung ke sana."

Riardan mengangguk. Dadanya berdegup kencang. "Mel. Bagaimana jika dia marah karena kedatanganku?"

Amel tersenyum. Dia berdiri dan berjalan keluar, menuju tempat di mana Dylofa di rawat. Riardan mengikuti langkahnya.

"Aku yakin dia akan marah padaku. Tapi, lebih dari pada itu, hatinya. Dia pasti senang melihat kalian di sini. Dia mengatakan padaku kemaren. Dia merindukan kalian." Amel menoleh dan tersenyum.

"Dokter ...." Perawat berlari menuju Amel. "Cepat Dok, Nyonya Dylofa kejang lagi dan ini jauh lebih parah dari yang sebelumnya.."

Amel dengan sigap berlari seketika.

Riardan menghentikan langkahnya. Dia terpaku sesaat. Dia tersadar, langsung berlari mengikuti Amel. "Tidak, Dylofaku. Tolong bertahan untukku sayang. Aku mohon."

Amel masuk ke kamar Dylofa, langsung menuju wanita itu. Melakukan beberapa hal untuk membantunya.

Riardan membeku di depan pintu. Dia menatap Dylofa, wanita yang dicintainya. Tengah berjuang melawan rasa sakitnya. Di balik tubuh kurus dan pucat.

Riardan meneteskan air mata. Dia mendekat selangkah demi selangkah. Dylofa dan Riardan bertemu mata, sebelum akhirnya Dylofa menutup matanya. Dia menyerah.

Riardan menggenggam tangan Dylofa. Dia menatap Dylofa yang tak lagi bergerak, tubuhnya lemas dengan mata tertutup. "Dy." Suara perih penuh luka milik Riardan, membuat Amel menoleh menatapnya.

"Maafkan aku, Dan." Amel menunduk. "Dylofa pergi."

Riardan Menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak."

Amel menghela napas panjang.

"Dia tidak boleh pergi tanpa ijin dariku. Dia tidak boleh melakukan ini." Riardan mencium tangan Dylofa sambil terus menatapnya. "Tidak boleh. Bangun, Dy. Aku mohon. Aku dan anak-anak membutuhkanmu. Jangan tinggalkan kami." Riardan menangis. "Dy. Bangun."

Riardan menggoyang tubuh Dylofa, sambil terus terisak. Meneriakkan nama Dylofa tanpa henti.

***

Riardan terdiam. Seperti manusia kehilangan nyawa. Hanya saja, dia masih bernapas dan berkedip.

Dylofa disemayamkan hari ini.

Dia pria terbodoh di dunia, menyiakan kehadiran istrinya, tidak mempercayai keputusan istrinya. Riardan menunduk. Kenyataan itu menjadi senjata yang saat ini menikam hatinya dengan dalam.

Riardan menatap makam Dylofa dengan tatapan penuh ratap. Air matanya mengalir tanpa suara atau rintihan.

"Tuan." Lena mendekat.

Riardan mendengar, tapi dia tidak berniat memberi jawaban.

"Tuan sudah berdiri di sini satu jam setelah pelayat pulang. Mari, Tuan." Lena menyentuh lengan Riardan pelan.

"Dia cantik sekali hari itu. Hari di mana kami mengucapkan janji suci, sehidup semati." Riardan teringat bagaimana wajah cantik Dylofa, tersenyum bahagia dengan gaun pengantin melekat di tubuhnya.

"Nyonya, wanita tercantik di dunia Tuan."

"Dia ...." Riardan terdiam. Dia menunduk penuh luka. Dia terisak. "Aku ingin bersamamu, Dy. Kenapa kamu pergi?" gumamnya lirih.

"Ayo pulang, Dan." Sentuhan pelan pada pundak Riardan. Amel, berdiri menatap Riardan iba. "Dylofa tidak akan senang melihatmu seperti ini. Ingat, kau masih punya Cellin dan Celena. Mereka masih membutuhkan kewarasanmu, Dan."

Riardan mengangkat wajahnya, dia menghela napas. Dia menoleh menatap dua gadis kecilnya, yang berdiri dengan setia menunggunya. "Iya, aku masih punya mereka."

"Ayo pulang. Yang Dylofa butuhkan sekarang adalah Doa." Amel mengelus pundak Riardan pelan.

***

Ikhlaskah aku dengan pergimu?

Sudikah aku menerima kehilanganmu?

Aku menangis, meneteskan air mata dan terisak. Berharap kau kembali, tapi tidak jua.

Kamu di mana?

Aku ingin bersamamu.

Kamu di mana?

Aku merindukanmu.

Sepi menjadi temanku sejak tak hadirnya dirimu.

Gelap menjadi favoritku sejak aku tanpamu.

Aku mencintaimu ....

Last Kiss (21+) ☑️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang