Bagian 2

6 1 0
                                    

Aku satu flat dengan Elena. Dia sedang menempuh kuliah IT. Ia berkacamata. Efek dari sering berlama2 menatap layar laptop. Ia terkesan tekun. Tapi Elena bukan gadis lugu dan kutu buku yang sering ada di film-film telenovela. Ia termasuk orang yang supel dan nyambung saat bercengkrama.

°°°

Sinar matahari pagi telah datang beberapa menit yang lalu. Burung-burung berkicau. Ralat, di kota besar seperti Roma tidak terdengar lagi kicauan burung. Yang ada adalah hiruk pikuk orang yang pergi untuk memulai aktifitasnya seperti bekerja dan sekolah. Ribuan orang berjalan kaki dan menaiki kendaraan umum demi keperluannya setiap pagi. Tetapi Roma tetap menyimpan keindahannya sendiri. Dunia tidak dapat menyangkalnya. Tidak akan bisa.

Elena sudah keluar dari flat beberapa menit yang lalu. Sementara Belina masih sibuk mengunyah roti yang ia beli kemarin sore. Ia tidak sempat memasak. Ia mengalami jet lag setelah sekian lama tak menaiki pesawat. Gadis itu menghabiskan waktu seharian untuk mengenali lingkungan flat dan para penghuninya. Fasilitasnya memang tak sebanding dengan rumahnya di Venice. Tetapi, setidaknya ia merasa hidup aman tentram di sana. Tanpa mendengar orang tuanya cek cok tentang bisnis adalah anugerah baginya.

°°°

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Berjalan menuju halte ternyata menyenangkan. Akhirnya aku kuliah di Rona. Impian. Kata itu yang terlintas dipikiranku. Aku sedang menjalani impianku. Menghitup udara kota ini dan berjalan ditemani matahari yang mulai terik. Tak ada hawa dingin yang menyentuh tubuhku. Bukankah ini  menyenangkan?

Flat shoesku telah menapaki trotoar menuju halte. Flat shoes baru yg  sengaja kubeli sebelum ke Roma. Tak tunggu lama, bus berhenti tepat di hadapanku. Beberapa orang keluar dari sana. Beberapa orang masuk menggantikan. Termasuk aku. Bus mulai bergerak mengarah ke kampusku. Butuh kurang lebih enam menit bagi bus ini sampai di halte terdekat dari kampusku. Aku menghela nafas saat kembali berada di pinggir jalan.

°°°

Kevin sedang duduk menyeruput teh manisnya sore itu. Menikmati setiap seduhnya sambil menatap senja menawan dari balkon apartemen. Ia meluruskan kaki dan mensyukuri semua yang terjadi hari ini. Ia menghela nafas. Surga dunia.

Namun tidak sampai detik kelima, senyum yang terlihat dari wajah tampannya hilang. Merasa ada ruangan besar yang kosong dalam dirinya. Ruangan yang sudah kosong bahkan sebelum ia dapat mengucapkan namanya sendiri. Saat ia belum bisa mengatakan 'Mama' dan 'Papa'. Ia bahkan susah untuk menelan ludahnya sekarang.

Senja tak lagi indah. Tehnya mendadak pahit. Tak hanya segelintir orang yang menganggapnya sukses. Tapi kata sukses terlalu abstak baginya. Ia merasa tidak pantas dikatakan sukses jika mengingat luka besar dalam hatinya. Luka yang sangat perih saat fakta ini menikamnya. Ia memegang dadanya yang terasa sesak sekarang. Ia merasa tidak normal. Kevin merasa perlu dikasihani. Wajahnya semakin pucat saat mengingat Tom. Dia ingat bahwa tidak mengalami rasa sakit ini sendiri. Adiknya juga merasakan hal yang sama. Luka itu, terlalu berat untuk dijadikan kenangan.

°°°

Di depan mataku sudah terlihat jelas sebuah gedung yang megah. Setelah kakiku menginjak lantau marmer di sana, mataku terarah pada denah besar kampus yang tertempel di dinding. Aku segera mencari posisi kantor administrasi.

°°°

Setelah keluar dari kanto administrasi, Belina segera angkat kaki dari kampusnya. Ia ingin bergerak cepat dan tidak terlena oleh semuanya. Belina selalu mengingat-ingat bahwa perjalanannya ini untuk impiannya. Sebelum mencari restoran yang membuka lowongan pekerjaan ia  mencari kafe untuk mengisi perutnya yang mulai lapar. Setelah lima menit berjalan, ia menemukan kafe kecil di pinggir jalan. Belina duduk menatap jalanan sambil menyesap mocca lattenya. Ia menghirup udara musim gugur Roma. Merasakan hawa dingin mulai berhembus membelai kulitnya. Lalu suasana itu terganggu ketika smartphone nya beerdering.

To be continued...

Post 23 Maret 00.37

a RomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang