Win Metawin

97 14 9
                                    

“Win,” Senyum, “Metawin.” Lanjutnya lagi, dengan senyuman lagi, yang ini lebih manis.

Bright tertegun sesaat, uluran tangan Metawin tidak ia sambut.

“Mas Bright, benar?” Wajahnya berkerut, alis bertaut, menebak. Bright masih diam tak bersuara.

“B-benar,” Ia menjawab, mengulas senyuman, melirik tangan Metawin yang masih terangkat lalu dengan sigap menyambutnya.

Hangat.

Lembut.

Bright tidak sadar tersenyum lebih lebar. “Maaf udah buat nunggu, tadi abis meeting.” Bright kasih alasan. Tautan tangan mereka terlepas.

Metawin mengangguk tanda tidak apa-apa, jarinya mencengkram lengan ransel yang terkait di punggungnya. Ada tas tangan juga yang Metawin taruh di samping kakinya. Bright memang meminta Mewatin untuk datang langsung ke kantornya di Sudirman, menyuruhnya menunggu sesaat di ruangannya sementara ia meladeni beberapa kliennya di ruang meeting, pertemuannya alot, Bright harus banyak berdiskusi dengan timnya demi menemukan titik temu yang diinginkan kedua belah pihak. Tidak enak sebenarnya membuat Metawin menunggu selama itu di pertemuan pertama mereka.

“Silahkan duduk,” Bright mempersilahkan, ia membuka kancing jasnya agar tidak terlalu formal. “Eva udah nawarin minum?”

“Udah,” Metawin jawab dengan cepat, memberikan gestur pelan pada gelas berisi air mineral yang tinggal setengah di atas meja tepat di hadapannya.

“Mau minum yang lain?” 

Metawin geleng, tersenyum tidak enak. “Engga usah, Mas. Ini aja udah cukup kok.”

“Kalau butuh yang lain tinggal bilang ya, jangan sungkan.” Bright memberitahu. Ia duduk di sofa tunggal, menyilangkan kakinya sembari mengusap dagunya. Gatal. Ada bakal janggut. Dia lupa bercukur pagi ini.

“Oke,” bisik Metawin pelan, matanya melirik pelan pada sekitar. Pada gorden berwarna merah mencolok di hadapannya; sebagian menutup kaca tebal nan besar yang menampilkan cerahnya awan dan gedung pencakar langit di sekitarnya, pada meja kerja Bright yang nampak berantakan; ada kumpulan kertas, Imac yang menyala terang, serta lampu meja yang menyala redup. Metawin menarik napas gugup, aromanya seperti citrus; Bright. Citrus yang sangat kuat, namun berhembus lembut kala pemuda itu menghembuskan napas atau bergerak pelan, seperti saat ini, lelaki itu tengah menarik turun dasinya yang terlihat mencekik. Aroma citrus menghantam penciuman Metawin.

“kalau siang mataharinya nyengat,” Bright berucap, nampak tahu jika Metawin sedari tadi meneliti ruangannya. “Saya suka menutup kacanya dengan gorden, tapi dibuka lagi kalau udah sore. Warnanya jadi indah. Jingga.” Bright menjelaskan, dia melihat sudut bibir Metawin yang tertarik ke atas. Nampak terhibur.

“kamu udah baca syarat-syaratnya, kan?” Bright tiba-tiba membahasnya, tidak bisa menahan diri.

“Sudah,” Metawin menjawab.

“Ada yang ingin ditanyakan?”

Metawin menyugar rambutnya ke belakang, semerbak aroma fresh-jelly beradu dengan citrus milik Bright. Lembut. Helai rambutnya langsung kembali ke bentuk semula. Poni menghiasi dahi, potongan belakangnya tujuh senti, Bright tidak sabar ingin mengelusnya.

“Aku tinggal di mana nantinya?” mata Metawin bertemu dengan Bright. 

“Apartemen saya.” Bright menjawab terlalu cepat. “Saya udah siapin satu kamar tamu buat kamu. Keluarga saya sering datang ke sana, jadi daripada nanti lebih rumit lagi kalau mereka tahu alamat kamu, lebih baik kamu tinggal sama saya.”

Metawin mengangguk mengerti, “Kalau keluargamu cerita tentang bagaimana kita bisa ketemu, hubungan kita sudah berapa lama, apa yang harus aku—“

RENT.LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang